Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memilih Bebas Anak

1 Oktober 2021   08:00 Diperbarui: 1 Oktober 2021   08:10 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bebas anak adalah komitmen dua manusia dalam sebuah perkawinan untuk tidak memiliki anak.  Perkawinan untuk menikmati hidup berdua tanpa adanya gangguan dan kepeningan mengurusi popok, mendidik formal dan nonformal, internalisasi moral dan budaya keluarga serta masyarakat.

Memilih bebas anak adalah pilihan. Bebas anak adalah keputusan. Orang hanya bisa mencibir atas keputusan berdua. Keputusan yang bisa saja berubah atas kesepakatan bersama. Tentu seperti surat pernyataan yang sering dibaca terbaca kalau surat dibuat dengan kesadaran dan tanpa ada tekanan dari pihak manapun termasuk dari pasangan, suami/istri.

Nyeleneh, aneh, bisa jadi. Orang kawin kok tidak ingin punya keturunan. Begitulah hidup bermasyarakat. Keputusan yang diluar pakem terkadang menyakitkan kuping karena digunjingkan. Apakah salah satu dari mereka ada yang mandul? Gunjing bergunjing dalam tulisan ini bukan panganan guncing tetapi topik sesuatu yang ditambahi bumbu penyedap yang bikin pergunjingan makin lama makin sedap.

Memilih bebas anak itu berat. Ibarat kata, waktu jomblo ditanya kapan kawin?  Sudah kawin pasti akan ditanya kapan punya anak? Setelah punya anak, sudah punya mantu belum? Sudah tua rambut ubanan akan ditanya cucunya berapa?

Kekasihku suatu waktu ketika beristirahat dari rutinitas pernah bilang. "Seandainya aku tidak bisa memberimu anak maka kau kubebaskan untuk menceraikan aku! Pilihlah perempuan yang bisa memberimu anak untuk melanjutkan keturunanmu!".

Speed boat yang melaju kencang di Pantai Timur Sumatra, di belakang Puskesmas seperti tak terasa. Ombak susulan yang menghempas kayu-kayu belakang Puskesmas hanya menampar muka dengan halus yang memerah. Mulut terkunci. Kuncinya entah di mana.

Kekasihku yang sering kusebut Kaki Kupu Kupu pun mentoel muka yang sedang menatap kosong kejauhan Selat Bangka. Kalau tidak ditoel barangkali tubuh kosong ini  sudah mengapung sampai ke Pulau Bangka.

Sore itu kami berdua kembali ke depan dan ternyata sudah ada seorang ibu yang sedang terbaring lemah di kamar persiapan melahirkan. Bidan sudah mempersiapkan peralatan dan bersama Kaki Kupu Kupu pun mereka dan seorang perawat membantu persalinan.

Tiga bulan kemudian kami mengunjungi Posyandu yang harus dicapai dengan speedboat. Satu jam perjalanan untuk sampai ke dermaga desa. Seorang perempuan dengan bayinya terlihat sumringah menyambut rombongan. Setiap satu bulan sekali pihak Puskesmas (bisa diwakili siapa saja) selalu mengunjungi Posyandu di wilayah kerja. Selain untuk memberikan penyuluhan kesehatan, juga untuk memberitahu program vaksinasi ataupun memberi makananan tambahan dari Dinkes kabupaten.

Kaki kupu-kupu terlihat gembira dengan bayi yang dibantunya tiga bulan lalu. Satu hadiah bando warna biru muda ditempelkan ke kepala si bayi. Kaki kupu-kupu seakan-akan tak mau melepaskan si balita itu dari gendongannya. Waktu meninjau dari satu meja ke meja lain di Posyandu, bayi itu tetap digendongnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun