Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Hasrat Politik dan Peribahasa

11 Juni 2021   11:38 Diperbarui: 11 Juni 2021   11:48 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat dengan Cooltext.com

"Percuma saja ngambil S2 kalau dunia kerja seperti ini". "Kompetensi dan profesionalitas tidak dianggap". "Sekarang itu enak loyalitas tanpa batas. Bisa dapat kue kekuasaan".

Pesan WA yang berkomentar mengenai Abdee Slank diangkat menjadi Komisaris Telkom cukup banyak. Tiga komentar itu paling tidak mewakili diskusi yang terjadi.  Pro kontra pengangkatannya pasti ada. Tidak mungkin tidak. Polarisasi politik di Indonesia bukannya hilang tetapi makin jelas bentuknya. Garis mereka jelas. Di akar rumpun sudah terlihat melalui simbol-simbol apalagi di dunia maya.

Lalu kenapa baru ditulis sekarang di Kompasiana. Kebetulan baru terlecut sekarang. Apalagi ada Topik Pilihan Kompasiana mengenai peribahasa. Peribahasa itu berasal kekayaan adat budaya bangsa dan juga pengalaman orang-orang tua bijaksana zaman dulu ataupun anak muda yang sudah berpikir bijak.

Sebelum membahas peribahasa terlalu jauh ada baiknya kalau mengenal terlebih dulu pekerjaan pengirim WA. WA pertama dan  kedua ditulis, dikirim oleh seorang yang memiliki "cupu". Kebetulan memang sudah menyelesaikan S2 dengan segala usaha. Pesan ketiga dikirim oleh seorang teman swasta.

Sekarang ada kecenderungan untuk mengurusi hal-hal yang jauh. Hampir semua orang mengurusi yang jauh. Mengurusi pemerintah pusat. Mengurusi negara lain. Mengurusi pekerjaan orang lain. Banyak yang lupa mengurusi yang dekat. Lupa mengurusi pemerintah daerah. Lupa mengurusi negara sendiri. Lupa mengurusi pekerjaan sendiri bahkan lupa mengurusi diri sendiri.

Mereka yang mengurusi yang jauh tetapi lupa dengan urusan yang dekat ketika ditanya jawabannya adalah tanggung jawab. Ada lagi yang bilang sudah kewajiban untuk berpartisipasi. Inilah demokrasi kalau demokrasi harus bersuara mau dikritik.

Mari mulai dengan rekan yang memiliki cupu. Sebagai seorang yang memiliki kekuasaan di daerah dalam lingkup kecil kalau pemilik cupu ini fokus dengan pekerjaan maka dia akan melakukan evaluasi dalam wilayah kerjanya.

Apa yang menjadi kekuatannya? Apa yang menjadi kelemahannya?  Berapa daya dukung SDM yang dimiliki? Aset penunjang pekerjaan bagaimana? Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik?

Kuyakin pemilik cupu tidak melakukannya karena dia sibuk mengurusi pekerjaan orang lain yang jauh dan diluar jangkauannya. Habis waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak perlu. Energi yang ada adalah energi kesal.

Mestinya, pemilik cupu harus bisa menggali potensi yang ada di daerahnya untuk bekerja lebih baik, membuat terobosan dalam pelayanan publik. Misalkan, membuat aduan sampah, membuat aduan pelayanan KTP, mempercepat pelayanan surat menyurat dan pelayanan publik yang berkaitan dengan cupu yang ada di dadanya. Jika berhasil membuat terobosan itu baru top markotop. Sudah pasti mutiara walau jauh, kerlip sinarnya pasti akan terlihat.

Persoalan menjadi kurang pas kalau ternyata kekuasaan yang dimilikinya tidak dijalankan, tidak membuat terobosan untuk melayani lebih baik lagi. Sibuk mengurusi kekuasaan lain. Padahal diri sendiri memiliki kekuasaan walau dalam lingkup kecil, kenapa pula mengurusi kekuasaan yang jauh yang diluar kuasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun