Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kill With The Ballot

15 Juli 2019   12:00 Diperbarui: 15 Juli 2019   12:29 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki itu memiliki sejuta ponsel pintar. Lelaki itu memiliki begitu banyak akun media sosial. Dengan satu kali perintah pada kecerdasan buatan yang dimilikinya, maka tidak ada yang tidak  trending.

Semua berpikir dia bisa menjadi  king maker  untuk semua keperluan dan kepentingan serta keinginan. Dia paling ditakuti dan paling dicari untuk dimintai konsultasinya. Baik lawan maupun kawan berusaha mencarinya.

Semua butuh bantuannya untuk menekan lawan ataupun kawan. Bayarannya tidak ada yang tahu? Apakah jam-jaman atau bahkan menit-menitan? Semua serba misterius. Begitupun untuk menemuinya tidak ada yang bisa. Info yang beredar, sang pemilik kecerdasan buatan yang akan menemui dan menawarkan jasa tanpa harus tatap muka. Pembayaran di muka, ditransfer ke rekening yang selalu berubah-ubah di negara surga pajak.

Apapun yang dipesankan padanya pasti akan menjadi  trending.  Baik mereka yang memang kaki tangannya ataukah bukan. Semua menjadi ikut dirinya. Ibarat bola salju yang mengelinding, yang semakin lama semakin membesar sehingga tak terbendung lagi. Melibas siapa saja yang ada di depannya.

Hampir tak ada yang bisa membendungnya kecuali orang nekat dan pemberani yang membawa peledak untuk diledakkan di bagian tengah bola. Orang-orang tersebut sangat sedikit karena menggunakan otaknya untuk berpikir dan menganalisis atas apa yang terjadi.

Orang yang menggunakan otak inilah yang ditakuti oleh lelaki penguasa kecerdasan buatan. Keduanya seperti  ying  dan  yang.  Baik dan buruk. Keduanya saling mengintip bila berperang. Ibarat penembak runduk yang harus melindungi dirinya agar tak terlihat samarannya oleh sang lawan ataupun target.

Pemerintahan pun digoyang oleh penguasa kecerdasan buatan. Ibarat kata, penguasa kecerdasan buatan berkuasa di dunia maya sedangkan pemerintah berkuasa di dunia nyata. Narasi-narasi untuk membuat publik tak percaya dengan pemerintahan disemburkan secara masif.

Akibatnya, mereka yang malas untuk cek ricek alias cek silang seperti bola salju tersambar. Mereka pun menjadi korban.  Apa lacur bahan semburan sudah pula dimuntahkan di media sosial milik. Apalagi kalau semburan itu prasangka yang tidak benar?   Duh Gusti,  sudah tertebak akhirnya  menyesal.

Ada yang aneh memang dalam tubuh lelaki yang menguasai kecerdasan buatan, hampir tak terkalahkan dalam urusan  trending.  Dihapus satu, muncul ratusan bahkan ribuan. Apakah dirinya perwujudan dari hidra, salah satu mitologi Yunani? Entahlah.

Foto: OtnasusidE
Foto: OtnasusidE
Akupun memberikan kode-kode di dunia maya agar dapat bertemu dengannya. Medsos pun tak ketinggalan kuuber. Demikian pula dengan iklan baris di koran. Semua kutelusuri satu demi satu untuk dapat menemuinya, bertatap muka.  Deep web  pun kujelajahi.

Hingga satu waktu, ada surel masuk. Sang pemilik kecerdasan buatan ingin bertemu. Bertatap muka dengan catatan, tidak ada foto ataupun jejak digital yang bisa membuktikan sosok sang pemilik kecerdasan buatan.

Warung kopi di kawasan Cikini menjadi saksi malam itu. Ternyata lelaki itu sangat supel. Makanan yang dipesan pun Indonesia banget. Makannya mengikuti tata cara makan yang benar berkebalikan dengan diriku.

"Dirimu hebat di dunia maya tetapi kenapa anda tak bisa mewujudkan secara nyata kehebatan anda dalam dunia nyata?," tanyaku sambil menatapnya.

Tersenyum. "Aku hanya ingin hidup di dunia maya. Dunia nyata urusan mereka yang menyewa diriku," katanya.

"Sayang dong. Dirimu bisa menjadi  king maker  atau justru menjadi  king  yang sesungguhnya".

"Aku senang kemisteriusan. Biarlah itu urusan mereka. Mereka seharusnya berpikir. Menang di maya belum tentu menang di nyata".

"Kini semuanya sudah berakhir. Kita harus mengikuti tata aturan yang berlaku di dunia nyata. Walau dalam dunia kami sepertinya tidak ada aturan, justru tidak adanya aturan itu aturan. Bisa lebih kejam di dunia kami daripada di dunia nyata," ungkapnya tanpa melanjutkan sambil menyeruput kopi.

"Empat tahun lagi pemilihan. Semestinya mereka berpikir dan mengeksekusi program di dunia nyata untuk menang. Percuma menumbangkan lawan politik di dunia maya. Menumbangkan lawan politik itu di dunia nyata. Bisakah kau membantuku?," kata lelaki pemilik kecerdasan buatan.

Aku terkejut dengan permohonannya. Sebanyak 50 negara bagian harus digarap dalam 4 tahun. Waktunya terlihat lama tetapi untuk urusan politik itu sangat singkat.

"Apakah kau punya pelurunya?," lanjutnya.

"The ballot.  Kill with the ballot," ujarku.

Kami bersalaman. Dia berjalan kaki mengarah ke Tugu Tani sedangkan aku berjalan kaki mengarah ke Taman Ismail Marzuki. Malam yang semarak. Sesemarak pikiranku yang kacau menerima permintaannya.

Reflek aku balik badan, berlari secepat mungkin ke warung kopi untuk meminta bukti keberadaan lelaki pemilik kecerdasan buatan. Warung kopi gempar seusai kami keluar dari barusan.

Semua pesanan minuman dan makanan pengunjung sudah dibayar melalui uang elektronik. Jaringan internet mati sekitar 3 menit. Cakram keras televisi sirkuit tertutup (CCTV) terformat secara otomatis. Di layar monitor kasir ada tulisan "Terima Kasih Indonesia. Semoga Damai". Di layar pantau televisi sirkuit tertutup ada tulisan "Bertemu Lagi di 2024".

Salam Kompal

Salam dari Puncak Bukit Barisan Sumatra

kompal-5d2c068e097f36729f44c9c4.jpg
kompal-5d2c068e097f36729f44c9c4.jpg
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun