Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Mau Disebut Miskin

20 Agustus 2018   16:17 Diperbarui: 20 Agustus 2018   18:51 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com | Ronny Adolof Buol

Kata satu ini selalu laris manis kalau ada Pilkada kabupaten/kota, provinsi, dan juga Pilpres. Dalam setiap Pilkada hingga Pilpres kata kemiskinan menjadi manis. Sebuah kata yang diumbar dengan penuh nafsu.

Adu data. Adu cara menghitung. Kadang ada juga yang asal njeplak tanpa data. Ada juga yang ngomong kemiskinan tetapi malah bikin senyum.

Kalau ingat kata kemiskinan dan miskin itu ingat lagi kuliah dan pacaran dulu. Kalau nggak ada duit ya bilang aja miskin sama pacar dan makannya pasti nasi bungkus bagi dua. Atau dibawakan makanan dari rumah oleh si kaki kupu-kupu.

Kaki kupu-kupu yang waktu kuliah bergaya sederhana sempat direndahkan oleh seniornya, dengan menyebut bapaknya jualan ayam di pasar. Oleh si kaki kupu-kupu pun diiyakan saja. Pikir kaki kupu-kupu, kan, nggak salah apapun pekerjaan orang tua kita yang penting halal, mau cuma narik becak ataupun jualan ayam plus potong ayam yang penting itu rezekinya.

Daku yang kuliah cuma memiliki 3 potong celana panjang saja plus satu celana SMU kalau darurat ya tetap dipakai, sempat diejek oleh teman-teman. Ketika menjual jasa membelikan nasi pun sempat diledek tetapi ya biasa saja. Anggap angin lalu. Dan pada akhirnya semua menjadi teman yang baik, bahkan ada teman yang membelikan dua celana jeans cihampelas dengan belelnya yang lagi ngetop waktu itu.

Daku yang tak tahu malu lalu kerja bantu-bantu di sebuah proyek penelitian mulai dari membersihkan ruangan, menyapu, mengepel lantai, membelikan nasi, dan begadang membantu mengetikkan laporan. Akhirnya satu waktu malah diajak penelitian.

Saat itulah daku baru tahu kata "miskin" dan "kemiskinan". Ada miskin yang benar-benar miskin, ada miskin karena faktor kebijakan, ada miskin karena memang etos kerjanya, ada miskin kadang-kadang dan ada juga miskin karena budaya. Saran daku, bacalah An End of Poverty? A Historical Debate" (Jones, 2004) dan untuk strategi ekonominya bacalah "The End of Poverty, Economic Possibilites of Our Times (Sachs, 2005) dan juga untuk menambah wawasan baca juga Encyclopedia of World Property (Odekon, 2006) serta The Poverty of Philosophy (Marx, 1847).

Pernah satu waktu dalam sebuah penelitian, daku diminta oleh penanggungjawab penelitian untuk menanyakan penghasilan warga satu bulan di satu dusun. Daku oke saja, ada sekiar 100 kepala keluarga, ya didatangi satu-satu dan daku tanyakan berapa penghasilannya. Ada yang berpenghasilan Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, bahkan ada yang berpenghasilan Rp 25 ribu-Rp 50 ribu sebulan.

Hanya setengah hari tugas itu selesai. Malamnya daku laporkan hasilnya ke penanggungjawab penelitian. Tertawa ngakaklah mereka melihat angka-angka yang daku sampaikan.

Daku pun diminta untuk menanyakan pengeluaran, mulai dari beras, lauk pauk, biaya listrik kalau ada, biaya minyak tanah, bensin kalau ada motor, biaya jajan anak sekolah, biaya SPP anak sekolah, biaya berobat, ada sekitar 30 item kalau nggak salah ingat, termasuk merokok dan makan sirih. Wak wak wak. Eh lupa, ditambahi dengan luas kebun, sawah panen berapa kali.

Daku baru menyelesaikan data mentahnya setelah satu bulan lebih berputar-putar di dusun tersebut. Jadi untuk mengukur penghasilan saja tidak bisa hanya keluar dari mulut sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun