Mohon tunggu...
Ananto W
Ananto W Mohon Tunggu... Administrasi - saya orang tua biasa yang pingin tahu, pingin bahagia (hihiHI)

pernah bekerja di sektor keuangan, ingin tahu banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Politik

Optimisnya Pak Presiden

4 April 2018   08:00 Diperbarui: 4 April 2018   08:36 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak kritik dilemparkan ke pemerintah. Presiden Joko Widodo menjawab secara tidak langsung dengan kalimat : "Kita harus optimis."

Mengapa harus optimis ?

Sejarah Indonesia sudah mencatat beberapa kali krisis ekonomi. Tahun 1930 di jaman penjajahan Belanda dunia mengalami Depresi Besar. Jaman malaise, disebut demikian, itu menghancurkan industri gula di Jawa yang tidak pernah benar-benar pulih. Perang Dunia II dan penjajahan Jepang 1942-1945 membawa kemiskinan yang parah tetapi NKRI berhasil diproklamasikan. Tahun 1958-1965 ekonomi menurun karena ketidakstabilan politik  dan kesalahan dalam pengelolaan ekonomi. Pemerintah tumbang digantikan oleh Orde Baru yang membawa kemakmuran.

Baru tahun 1997 -1998 terjadi krisis ekonomi besar karena pelarian modal keluar dari Indonesia. Baru diketahui bahwa pembangunan institusi Indonesia banyak bolongnya. Utang swasta dalam mata uang asing tidak tercatat, bank membiayai perusahaannya sendiri sehingga melanggara Batas Maksimum Pemberian kredit, banyak kredit bodong dan korupsi yang marak. Krisis itu yang semula disebut krismon menjadi krisis total yang menumbangkan pemerintahan Orde Baru.

Tahun 2008 terjadi krisis AS yang dikenal dengan krisis sub prime mortgage. Bank AS mengalami kredit macet sektor properti yang parah. Ekonomi nasional AS terdampak karena kredit perbankan dikemas dan dijual ke berbagai institusi finansial non bank. Ketika harga real estat jeblok dan bank mengalami kredit macet, dampaknya menular ke seluruh sektor. Indonesia tidak terdampak krisis itu karena kredit KPR tidak besar dan para pemimpin sudah belajar dari krisis sebelumnya. Tetapi toh Bank Century kolaps dengan biaya penyelamatan Rp 6,7 triliun.

Pada waktu krisis 1997-1998 itu banyak pihak tidak percaya Indonesia bisa bertahan sebagai sebuah negara. Bolongnya keuangan negara demikian besar, tercatat sebagai rekor dalam jaman ekonomi modern. Nyatanya Indonesia bisa keluar dari krisis.

Mengapa tidak optimis ?

Sikap melihat kondisi negara dari sisi kekurangannya merupakan ciri dari pihak oposisi. Hal itu wajar saja. Pemilihan umum sebagai salah satu pilar demokrasi tidak dimenangkan secara mutlak oleh satu partai, satu calon. Media massa sudah bebas mengutip siapa saja yang pantas dikutip. Orang dalam jaman reformasi juga boleh mengemukakan pendapat dengan bebas.

Tidak optimisnya Indonesia bisa dipandang dari target pencapaian cita-cita masyarakat adil makmur masih panjang. Ini berlawanan dengan sikap optimis adalah karena sudut pandang yang berbeda. Satu pihak melihat gelas setengah penuh, satu pihak lain melihat gelas belum penuh. Orang yang melihat gelas belum penuh bisa jadi melibatkan dimensi waktu. Ada unsur urgensi yang sepertinya belum dilakukan oleh penyelenggara negara.

Sikap tidak optimis itu bukannya tidak baik. Sewaktu krisis 1997-98, para menteri tidak melihat gajah dalam ruangan. Krisis dimulai dari Thailand. Kurs rupiah melonjak dari Rp2.600/1USD (Agustus 1997) menjadi Rp11.000 (Jan 1998) dikomentari dengan rasa optimisme: fundamental ekonomi baik, didukung dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang hati-hati.

Pemerintah dan bahkan Bank Dunia (Juni 1997) melihat ekonomi Indonesia saat itu baik. Ketika kurs melonjak lagi, ditanggapi dengan upaya membuat sistem kurs tetap atas saran prof Steve Hanke yang diundang sebagai penasehat. Pasar bereaksi, bergejolak lagi kurs naik 28%. Indonesia menyerah untuk diselamatkan dengan korban Rp 600 trilyun penyelamatan perbankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun