Mohon tunggu...
Dwi Kurnia Wibowo
Dwi Kurnia Wibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Laki-laki

Lahir di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal Kehidupan

3 September 2020   07:13 Diperbarui: 3 September 2020   13:12 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertamini di pengkolan ujung kampungnya Jono itu sudah lama berdiri tanpa saingan. Pak Kir adalah nama pemilik pertamini itu. Warga kampung yang tadinya takut takaran akan dikelabuhi lebih memilih bensin ecer botolan. Sekarang tidak lagi semenjak ada sosialisasi mandiri yang dilakukan putra mahkota kebanggaan Pak Kir terkait mesin penyemprot bensin elektrik itu. 

Itu dilakukan dengan gampang, anak Pak Kir adalah seorang lulusan sekolah kesehatan. Dengan kampanye jaga kesehatan maka warga di kampungnya Jono percaya bahwa bensin bahaya jika disentuh, bisa menyebabkan keracunan. Apalagi kalau sampai untuk campuran es jeruk, jadi makin goblok.

Dengan alasan kesehatan maka warga kampung di sana sekarang memilih disemprotkan saja kalau beli bensin ke tengki motornya. Mobilisasi massa yang dilakukan Pak Kir agar warga membeli bensin di pertamininya berbuah sedap dan merebak baunya hingga seantero kampung. 

Mesin elektrik penyemprot bensin yang dibeli dengan meminjam uang ke Mbak Ningsih itu sekarang telah lepas landas dari gugatan cicilan mingguan kepada Mbak Ningsih. Mbak Ningsih yang merupakan tetangga kampung itu terkenal banyak uangnya, sampai bisa jual uang untuk jadi uang lagi, edan!

Laris manis tanjung kimpul, dagangan laris walaupun gadaikan dengkul. Hati yang sudah berkarat akan gampang menyimpulkan usaha pertamini Pak Kir dikaitkan dengan hal-hal supranatural. Itu berlaku bagi masyarakat yang memang secara tiba-tiba bisa membenci tanpa mau mengerti. 

Orang lagi berhasil usahanya bukannya belajar malah sibuk mencari topik untuk menjatuhkan. Untuk membangun usaha di negeri yang menganut paham kanan bukan kiri bukan ini adalah dibebaskan tapi tidak bebas-bebas amat. Siapa saja boleh memiliki aset pribadi sampai berbukit-bukit, perkara urusan dapur itu formulanya masing-masing. Kalau sudah dinilai mampu diperah, orang-orang berseragam dinas biasanya bersafari dan minta uang bensin kalau berkunjung.

"Ah saya tahu, dia itu sering pergi ke daerah pesisir," sambil menghisap rokoknya, Mbah Kun bercerita. "Ngapain itu Mbah?" Tanya Feri penasaran. "Ya gitu lah, cari-cari," kata Mbah Kun. Feri masih tidak paham apa maksud Mbah Kun ngomong itu. Adzan Maghrib mengudara dari toa langar pinggir perempatan, menjeda perbincangan Mbah Kun dan Feri. 

"Mbah saya ke langgar dulu ya," pamit Feri. "Gak sembahyang di sini aja Fer, tenang saya itu sudah haji dan alat sembahyang juga lumayan lengkap," jawab Mbah Kun sambil berdiri memersilahkan Feri pamit. Feri pun hanya tersenyum tidak mau menjawab, karena bisa berlanjut lama lagi.

Mbah Kun merupakan sesepuh kampung yang tidak begitu ada signifikansinya. Kalau orang bermasalah dengan dia maka akan nambah masalah baru. Setiap hari hanya sibuk dengan mencari tahu orang yang sedang bermasalah dan nimbrung. "Itu kena pasal, harus dibereskan kalau tidak kamu yang akan dipenjara," lantang Mbah Kun menyela cerita Roni tentang masalah jual-beli lahan sawit di Pulau Borneo. "Waduh gimana dong Mbah, apa saya harus adu jotos biar orangnya mau tandatangan" jabar Roni setengah bingung setengah marah.

Perjanjian jual-beli lahan sawit yang dilakukan Roni dan Edo hanya berupa bukti pembayaran di kwitansi. Edo menawarkan lahan sawit di Pulau Borneo dengan harga yang sangat murah kepada Roni. Roni awalnya tidak mau, tapi setiap hari Edo bersilaturahmi ke rumah Roni untuk merayu rumahnya supaya dijual. "Kamu beli sawit ini, 10 hektar sudah mulai buah pasir. Murah banget ini cuma 100 juta, lima tahun lagi kamu tinggal duduk manis menerima jatah bulanan dari perusahaan yang mengelola sawit ini." Edo sangat mantap meyakinkan Roni.

Semua yang dikatakan Edo kepada Roni hanyalah retorika yang berbuntut kepentingan. Sembilan tahun sudah berlalu, janji-janji Edo tidak ada yang terealisasikan. Edo yang waktu itu sedang bingung memikirkan biaya untuk sekolah anaknya di akademi keperawatan menjelma menjadi kera. Seperti yang sering dilakukan oleh orang-orang yang gemar pasang foto di baliho besar dan memaku batang-batang pohon agar gambar dirinya bisa dipajang. Tujuannya adalah tidak lain dan tidak mungkin lain adalah kepentingan.

Sejak Roni meminta izin kepada keluarga besar untuk menjual rumah warisan Bapaknya itu tidak ada satu pun yang setuju. Akan tetapi racun yang sudah ditanam di pikiran Roni oleh Edo sangat kuat hingga menyerang inti cerebellum pada otak Roni. Lumpuh total kerja nalar otak Roni waktu itu, Edo sangat dipuja bak dewa untuk segala gagasannya. 

Roni yang memikirkan masa depan memang sangat gelap mata, karena masih punya buntut tiga ekor yang masih mungil. Pikirnya jika benar apa yang dikatakan Edo, sebagai seorang buruh serabutan akan merasa tenang di masa tuanya. Jika buntut-buntutnya nanti tumbuh, sudah ada biaya untuk merawatnya agar tetap bergibas-gibas di pergaulan bersama teman-temannya nanti.

"Saya tidak mau tahu, saya mau uang saya kembali!" Pagi itu di kantor kelurahan, Roni sudah manggung di ruang tamu. Pak Lurah dan Pak Sekdes masih bingung gimana caranya kedua orang yang bergulat omong ini bisa duduk dulu, sambil nikmatin kopi yang masih ngebul. Mbah Kun yang sudah memberikan briefing kepada Roni sebelum pertemuan itu pun tampak tenang duduk sambal gela-gelo melihat dua orang ngotot beradu omong. Tak sepatah kata pun terucap, Mbah Kun lebih memilih menyeruput kopi saja.

Pak Sekdes hanya bisa membantu mengetik surat perjanjian baru untuk pengembalian uang Roni. Pak Lurah tidak banyak berperan karena dulu waktu akad jual-beli lahan sawit saja belum menjabat sebagai Lurah. Kopi yang di cangkir-cangkir yang hampir habis akhirnya disruput secara barasama-sama sebagai akhir perdebatan sengit di kantor kelurahan pagi itu. Roni hanya bisa yakin apa yang sudah dikatakan Edo dan diketik Pak Sekdes akan ditepati.

Roni sudah berlumur malu, dengan keluarga dan dengan warga di kampung. Percaya dengan Edo yang tidak bisa diyakini kebenaran janji-janjinya. Tidak ada kata lain selain maaf kepada keluarga besarnya. Roni bertekuk lutut meminta ampun seperti tahanan perang agar tidak dibinasakan karena merasa tertawan rasa bersalah kepada keluarga besarnya. Terutama Ibu kandungnya yang sangat menyayangkan langkah Roni dulu terlampau berani.

"Tenang saja kamu pasti menang Ron" kata Mbah Kun. Perjanjian pagi kemarin isinya memang membolehkan Roni untuk tinggal di rumahnya Edo sebelum uangnya dikembalikan. Sedangkan Edo yang tadinya pulang ke kampung hanya untuk menyaksikan Bapaknya dimakamkan itu langsung kembali ke Pulau Borneo. Edo tidak tahu Roni bakal senekat itu menggugat uangnya kembali utuh. Dulu pernah mentransfer uang ke Roni dengan alibi hasil panen bulan pertama. Tujuan Edo adalah mengamankan diri dari jeratan hukum perdata.

Roni menempati rumah Edo tapi dengan perasaan yang tidak sepenuhnya puas. Rumah Edo itu masih atas nama Bapaknya yang sudah meninggal. Sedangkan status hak waris saja masih belum jelas jatuh ke siapa karena Edo lima bersaudara. Keempat adik kandungnya juga dikibuli membeli lahan sawit. Tantu semua adik kandungnya akan menggugat jika rumah Bapaknya jatuh hak waris ke Edo supaya dijual dan buat dibagi-bagi bayar hutangnya.

"Tidak masalah ini dibayari saja, lumayan kamu dapat rumah besar. Nanti Roni juga otomatis pergi dari sini kalau sudah kamu balikin uangnya. Kamu kasih lebih sedikit aja biar Roni gak rewel," Mbah Kun tegas ngomong ke Edi adik kandung Edo yang paling tua. "Iya Mbah nanti saya usahakan kalau bisa," jawab Edi. Saat ketemu Roni di jalan, Mbah Kun bilang mau ibadah menolong Roni, tidak mau sepeser pun kalau uangnya kembali. "Tenang Ron, uang kamu pasti balik seperti dulu jumlahnya, saya carikan pembeli rumah kalau Edo tidak balik sebulan lagi." Mbah Kun bicara dengan santai. "Iya Mbah," Roni cuma bisa jawab tidak lebih dari itu kepada Mbah Kun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun