Mohon tunggu...
Ossa Wedhar Dian Kusuma
Ossa Wedhar Dian Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Airlangga

Kepribadian ESFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Penegakan Hukum di Indonesia, Apakah Hanya Ilusi Semata?

25 Juni 2022   19:45 Diperbarui: 25 Juni 2022   20:12 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merujuk pada konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar NRI 1945 tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) telah dijelaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selanjutnya terdapat penegasan kembali yang diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Hukum ialah jaminan agar hak-hak setiap orang tidak bisa dilanggar dengan semena-mena. Adanya hukum tentu memiliki tujuan, yaitu untuk menciptakan suatu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Sebagaimana hukum adalah timbangan, konsekuensi logis yang terjadi disini hukum harus selalu memberikan porsi atau bobot yang sesuai (adil). Hukum tidak bisa berjalan sendiri, dibutuhkan penegakan hukum sebagai upaya agar nilai dan norma dalam hukum dapat diterapkan.

Lalu mengapa penegakan hukum di Indonesia masih perlu dipertanyakan?

Penyelewangan terhadap penegakan hukum masih kerap terjadi. Padahal, penegakan hukum merupakan realisasi jaminan hak-hak manusia dijalankan. Ketika penegakan hukum itu tidak berlaku dengan semestinya, saat itulah dikatakan hukum telah mencederai rakyat. Menurut pemikiran Soerjono Soekanto, terdapat 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum diantaranya yaitu faktor hukum, faktor sarana, faktor budaya, faktor masyarakat, dan faktor penegak hukum. 

Peninjauan terhadap faktor-faktor ini dapat dilihat dari nilai esensial dalam hukum itu sendiri yang berupa peraturan perundang-undangan. Ketika peraturan perundang-undangan telah berlaku dan disahkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, saat itu pula “Setiap orang dianggap mengetahui hukum” sehingga wajib melaksanakannya. Dalam penegakannya dibutuhkan sarana untuk mempermudah penegakan hukum. Sarana atau fasilitas ini dapat berupa alat (pendidikan), sistem maupun tempat penegakan hukum berlangsung. 

Pendidikan termasuk hal yang sangat penting dan diperlukan dalam menciptakan wawasan mumpuni sehingga hukum tidak hanya dianggap sebagai “angin lalu”, namun tertanam dan diimplementasikan dengan sebenar-benarnya. Dengan begitu, semua pihak dapat menerapkan hukum tanpa melihat dasi di baju seseorang. Hukum bukan ditujukan bagi satu atau dua orang saja, tetapi mengikat seluruh lapisan masyarakat. Secara sederhana, lapisan masyarakat dalam statifikasi sosial terbagi menjadi dua,yaitu masyarakat kelas bawah (kurang mampu) dan masyarakat kelas atas (mampu). 

Walaupun tidak bisa disamaratakan untuk seluruhnya, masyarakat golongan atas melakukan pelanggaran terhadap hukum yang lebih parah. Sedangkan masyarakat kelas bawah lebih rentan terhadap tindak kejahatan melanggar hukum, yang berdampak tingkat kriminalistas menjadi tinggi. Hal ini terjadi, karena akses masuknya pemahaman tentang hukum lebih sulit. Kemudian masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki kuasa cenderung tidak berani menentang tindakan yang melanggar hukum. Kurangnya sosialisasi yang tidak menyentuh lapisan bawah menambah berat permasalahan ini.

Penentuan sikap para pemangku kebijakan ini seharusnya menjadi titik tolak penegakan hukum, karena lembaga yang membuat, melaksanakan, mengawasi bahkan menegakkan hukum adalah pemerintah. Sebagai penegak hukum tentunya telah memiliki bekal yang cukup tentang ilmu hukum, melebihi orang awam atau masyarakat biasa. Tetapi, dari banyaknya orang yang disebut mengerti hukum, banyak pula yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena mereka mengetahui hukum, berarti mereka pula yang lebih mengetahui celahnya. Yang dimungkinkan bisa memperdaya dan menyamarkan kelemahan tersebut. Padahal penegak hukum merupakan tanggung jawab yang diamanatkan rakyat, namun sering dihiraukan. 

Seseorang bisa saja pandai beretrorika dengan hukum, tetapi untuk membentuk manusia berkarakter hukum tidak semudah itu. Padakenyataannya, seringkali penegak hukum tidak melakukan penegakan hukum yang berjalan pada koridor yang benar. Dibalik penegakan hukum masih banyak ditemukan praktik-praktik suap kekayaan maupun jabatan yang meresahkan. Sehingga dalam masyarakat telah tertanam doktrin “Tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Yang artinya hukum bisa diperjualbelikan terhadap golongan yang memiliki kedudukan. Hal ini berdampak langsung terhadap terkikisnya pondasi hukum, karena hilangnya rasa percaya oleh masyarakat.

Berhubungan dengan hal tersebut pemerintah dinilai sebagai kepala dari penegakan hukum. Maka sudah semestinya penegak hukum harus bebas dari intervensi manapun sebagai lembaga yang mandiri atas cerminan good governance. Dengan demikian, untuk mewujudkan penegakan hukum secara maksimal, diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat sesuai perannya masing-masing. Yang mana dapat dilakukan melalui mengkaji substasi hukum, mereformasi/meningkatkan integritas lembaga penegak hukum, melaksanakan maupun memberikan sosialisasi tentang hukum, serta mengawasi jalannya hukum itu sendiri. Penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, yang dilandasakan tanggung jawab moral kepada rakyat dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Referensi/sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun