Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relasi Filosofi di Balik Rumah Adat Suku Kemak Leo Lima Timor

10 Mei 2021   12:36 Diperbarui: 10 Mei 2021   12:40 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kembali lagi pada suatu pemahaman tentang manusia Indonesia yang beranekaragam suku, bahasa, adat-istiadat dan kepercayaan-kepercayaan mistis yang melingkupinya. Semua ini merupakan anugerah Tuhan. Demikian manusia beragama menjelaskan identitas dirinya sebagai makhluk religius. Benarkah manusia beragama itu manusia religius? Mari sejenak kita mendalami sedikit arti manusia religius sebelum masuk lebih jauh tentang bentangan filosofi rumah Suku Kemak Leo Lima.

Berbicara tentang manusia religius tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran tokoh yang mendasarinya. Sebut saja, Van Baal dengan konsep religi dan kultur.  Ernst Cassirer merujuk pada simbol-simbol kebudayaan. Viktor Turner lebih kepada etnografi religi, Mircea Eliade lebih kepada kehidupan sakral dan profan, dan masih banyak lagi. Para pemikir ini memiliki definisi tentang manusia religius yang beraneka ragam, tetapi sekalipun demikian ada satu hal yang perlu digaris bawahi terkait manusia religius, adalah dia yang selalu hidup dan berjuang untuk mendekatkan dirinya dengan yang Kudus (Ilahi) baik melalui ritus, simbol, ataupun cara-cara kultus lainnya. Dengan demikian manusia religius tidak hanya merujuk kepada agama tetapi kepada semua manusia yang mengakui suatu pribadi religius yang Kudus (Ilahi).

Masyarakat Kemak Leo Lima sejatinya adalah manusia religius. Mereka selalu mendekatkan diri dengan "Yang Kudus" tidak hanya melalui agama yang dianutnya tetapi juga kepada leluhur sebagai perantara doa-doa mereka. Hubungan antara masyarakat Suku Kemak Leo Lima dengan Yang Kudus, dapat dijumpai dalam konteks rumah suku.

Rumah Suku Kemak Leo Lima

 Masyarakat Suku Kemak Leo Lima, pada umumnya memiliki rumah suku atau rumah adat yang berbentuk kerucut. Rumah suku tersebut beratapkan rumput-alang-alang, ataupun daun gewang berukuran besar, namun dewasa ini, ada juga yang sudah menggunakan seng, dan berdinding papan. Tetapi sebelum diatapi dengan seng, terlebih dahulu diatapi dengan daun gewang berukuran besar.  

Berdasarkan penyebaran,  Suku Kemak Leo Lima   berasal dari Balibo, Timor -Timur, Negara Timor Leste saat ini, kurang lebih sekitar abad ke-18, Suku Kemak Leo Lima berpindah dari Balibo, Timor-Timur ke wilayah Timor-Barat Indonesia. Dan saat ini menetap di Kampung Sirani,  Kecamatan Tasi Feto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Dan di tempat inipun kemudian dibangun rumah adat Suku Kemak Leo Lima. 

Berbicara tentang rumah suku atau rumah adat masyarakat Kemak Leo Lima tidak terlepas dari bentuk dan bagian-bagian penting yang ada di dalamnya. Berikut merupakan karakteristik dari rumah adat Suku Kemak Leo Lima

Dua tiang pusat.

Rumah suku masyarakat Kemak Leo Lima memiliki dua tiang pusat yang menjadi penyangga dan terletak di tengah-tengah dan menjulang tinggi ke atas. Dua tiang ini  disebut duhug hine (tiang perempuan) dan duhug mane (tiang laki-laki). Kedua tiang ini melambangkan leluhur perempuan dan laki-laki dari masyarakat  Kemak Leo Lima. Sehingga kedua tiang ini diyakini sebagai tiang yang sangat sakral. Karena menghadirkan asal-usul masyarakat Kemak Leo Lima dan Sumber kehidupannya. Pada kedua tiang inilah diikat Sele Luling atau Sele Dirmain, sebagai perantara persembahan kepada keempat leluhur dan Ama Lelo (Yang Kudus), ataupun persembahan-persembahan lainnya. Selain itu juga kedua tiang ini menjadi penyatu bagi seluruh anggota Suku Kemak Leo Lima. Oleh sebab itu, masyarakat Kemak Leo Lima setiap kali ada persoalan hidup selalu datang ke rumah suku. Mereka meminta petunjuk pada leluhur.

Dua pintu 

Ada dua buah pintu dalam rumah suku masyarakat Kemak Leo Lima. Dua pintu tersebut dalam bahasa Tetum bernama pintu Loro Sae (pintu matahari terbit) dan pintu Loro Monu (matahari terbenam).  Atau dalam bahasa Kemak , Salmatang Lelo Sae (pintu matahari terbit) dan Salmatang Lelo Du (pintu matahari terbenam). Masyarakat Kemak Leo Lima juga kerap menyebutnya Salmatang Dato (Pintu depan) Salmatang Being (Pintu belakang). Kedua pintu ini sering disebut juga dengan pintu laki-laki dan pintu perempuan. Pintu laki-laki terletak di bagian depan biasanya digunakan oleh para ketua suku laki-laki dan pintu perempuan terletak di bagian belakang, biasanya dilewati oleh kepala suku perempuan atau perempuan yang dibeli putus oleh suku rumah. Perempuan yang dibeli putus (faen kotu) ini biasanya bernama uma nain, dan pintu tersebut bisa juga disebut pintu para uma nain (menantu) Dua pintu ini berhubungan langsung dengan ruang sakral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun