Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengakuan Seorang Pelajar, "Melihat dengan Hati"

27 Januari 2021   10:13 Diperbarui: 27 Januari 2021   11:05 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ikun.pic. Malang / dokpri

Menjadi seorang terpelajar sering dituntut untuk bersikap bijak dan rendah hati. Tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri ketika di usia muda yang penuh dengan idealisme pribadi, saya harus menjadi seperti apa yang diharapkan orang lain. Bukan sekedar teori bahwa rentan usia 20-30an, menjadi kesempatan di mana orang belajar mencari kebijaksanaan. Itulah yang saya alami dalam proses pengembangan diri di tanah orang.

Komitmen di awal semester tahun ini, untuk menahan diri agar tidak sering bepergian membawa dampak positif terhadap waktu belajar dan disiplin diri. Namun masih ada persoalan lain lagi yakni, pemberian diri. Memberi diri untuk dibimbing dalam idealisme pribadi yang begitu besar tentu sangat sulit. 

Sehingga jelas bagi saya untuk mencari seorang pembimbing seperti sahabat, teman, ataupun orangtua yang dekatpun, membutuhkan waktu dan standar pribadi antara saya dan mereka. Sikap  tidak percaya terhadap perkataan orang seakan menjadi standar pribadi untuk mencari pembuktian yang pasti. Tidak bermaksud untuk cuek tetapi lebih kepada rasional.

Kesadaran demi kesadaran membawa saya untuk melihat lebih jauh tentang makna hidup seorang terpelajar. Kehidupan yang seharusnya, tidak bernoda oleh sikap, perbuatan dan tutur kata. Memang segala sesuatu harus berjalan seimbang. Karena bagi saya, segala sesuatu dalam hidup ini, menuju pada doa sebagai kekuatan iman, tindakan sebagai bagian dari wujud iman seorang manusia.  Apakah pernyataan ini sejalan dengan apa  yang saya alami dan hidupi? Belum tentu. Sebagai seorang anak muda yang sedang dalam proses pencaharian nilai-nilai kebijaksanaan, tentu membutuhkan banyak waktu untuk menjadi seperti demikian.

Belajar dan terus belajar, meniru dan terus meniru, merefleksikan dan mengamalkan dalam hidup adalah bagian dalam perjalanan hidup saya kedepan. Belajar untuk memperbaiki setiap kesalahan. Meniru dari orang lain sejauh kemampuan diri tanpa menghadirkan sikap munafik, dan berani untuk terus berefleksi tentang hidup yang semestinya. Semuanya menjadi kesadaran baru, bahwa saya harus kembali kepada hati. Sejauh mana hati diikhlaskan untuk orang lain secara khusus mereka yang berjasa dan yang membutuhkan kehadiran. Karena dapat dipahami bahwa disitu pula kebahagiaan itu saya peroleh.

Orang bahagia belum tentu dilihat dari canda dan tawanya yang begitu besar. Begitupun orang yang sedih dan cemas dapat dilihat dari aura/ wajah yang begitu tenang. Secara umum belum ada teori yang dapat mengukur ke dalaman hati orang menyangkut kebahagiaan dan kesedihan ataupun kecemasan. Dengan demikian, setiap pendapat yang ada belum tentu mengandung suatu pernyataan 100% kebenaran. Sehingga dengan serta merta dan tanpa pertimbangan langsung mengatakan dia salah ataupun benar. 

Saya sungguh menyadari bahwa dalam konteks hidup manusia baik di rumah ataupun dalam masyarkat tentu ada persoalan. Tetapi setiap persoalan tidak dapat diselesaikan dengan cara "salah-benar" jika yang ada demikian, maka jelas bahwa yang salah akan menjadi salah dari awal ia disalahkan dan benar akan menjadi kebenaran sejak ia dibenarkan. Sehingga titik tempu terakhir adalah ketidak percayaan.

Perkara benar atau salah mengajarkan saya untuk melihat kepada orangnya bukan soal aturan. Titik tempuh yang diwujudkan adalah persaudaraan. Persaudaraan hidup dalam kebersamaan tanpa membeda-bedakan, tanpa memilih mana yang saya suka dan cocok untuk saya bercerita bersama. Kebersamaan dengan orang lain di tanah rantau mengajarkan saya untuk bagaimana mengalami relasi kebebersamaan itu. Melihat dengan hati menjadi suatu refleksi hidup di akhir di tahun kemarin tuk tahun ini. Secara khusus untuk lebih rendah hati melihat dan menanggapi setiap persoalan hidup dengan hati yang tegar dan terbuka.

Masih ada waktu...

Segala sesuatu tidak pernah terlepas dari waktu. Hidup bersama dengan sesama dari berbagai belahan negeri ini, adalah bagian dari waktu. Waktu di mana saya harus menyendiri dan bersama dengan mereka. itulah pilihan yang harus diambil, jika ingin menjadi manusia yang sesungguhnya.

Sebagai seorang anak rantau saya sangat bersyukur dapat mengalami keduanya  dan bangga dengan waktu yang telah  saya tentukan. Kapan saya harus bersama dan kapan saya harus menyendiri. Terlepas dari semua itu, saya juga menyadari bahwa masi ada waktu untuk memperbaiki setiap kekurangan dan kelalaian dalam hidup. Kekurangan adalah cacat dari kesempurnaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun