Jumat, 31 Januari 2020 lalu, artikel Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini, Â berjudul "Kemandirian NU dan Perdamaian Dunia" dimuat di Harian Kompas halaman 6.
Dalam artikel ini Helmy antara lain mengatakan NU sangat memperhatikan sektor pertanian. "Perhatian terhadap sektor pertanian itu dibuktikan dengan rekomendasi Muktamar ke-32 NU di Makassar tahun 2010 dan juga Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015," kata Helmy tahun lalu.
Isi rekomendasinya, kata Helmy, adalah memerintahkan kepada PBNU untuk melakukan serangkaian advokasi dan mendesak pemerintah untuk menciptakan keadilan ekonomi, terutama pada sektor pertanian dan perdagangan.
Ironi Menyedihkan
Faktanya, dengan komposisi penduduk yang sebagian besar memilih pertanian sebagai ladang mata pencaharian, hari ini kita kita masih mengimpor pelbagi bahan pokok makanan. "Ini adalah sebuah ironi yang menyedihkan," seru Helmy dalam artikel itu.
Pada keadaan yang demikian, lanjut Helmy, sesungguhnya yang menjadi korban utama atas kebijakan impor bahan pangan adalah rakyat kecil. "NU memiliki komitmen yang kuat untuk selalu menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan pemerataan ekonomi," kata Helmy.
Senin, 19 April 2021, saya kontak Helmy, agar terus berjuang menghentikan impor beras. "Siap om, " jawab sahabat saya asal Cirebon yang suka beli roti pentong di pinggir jalan desa ketika menjabat Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal 2009 - 2014 itu.
Sabtu, 20 Maret 2021 lalu, Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said) di Jakarta menyerukan PBNU menolak keras rencana Pemerintah Indonesia mengimpor satu juta ton beras beras dari Thailand. Kang Said, demikian nama sapaan akrabnya di Pesantren Kempek, Cirebon, menyatakan impor beras ini sangat merugikan petani Indonesia. "Nah, saya menolak keras impor ini, pertama karena kebanyakan petani, 99 persen warga NU, " seru Kang Said tegas.
Senin, 22 Maret 2021, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto, juga menyerukan penolakan atas impor beras itu. "Keputusan Menteri Perdagangan (juga Menteri Koordinator Perekonomian) selain melupakan basis politik Presiden dan PDI Perjuangan dari petani, juga sangat tidak tepat mengingat perekonomian nasional sedang tertekan akibat pandemi.
"Menteri Perdaganganhanya menghambur-hambur devisa negara, untuk suatu produksi pangan yang sebenarnya bangsa Indonesia bisa memproduksi pangan tersebut. Dalam situasi kontraksi ekonomi seperti saat ini penting untuk hemat devisa negara," kata Hasto.
Mencoreng Muka Presiden
PDI Perjuangan, seru Hasto berapi-api, mengingatkan, agar menteri sebagai pembantu presiden jangan menjadi beban presiden. "Memaksakan impor beras secara sepihak, tidak hanya bertentangan politik pangan Presiden Jokowi, namun mencoreng muka Presiden Jokowi yang belum lama menyampaikan gerakan cinta produksi dalam negeri," ujar Hasto.
Senin, 12 April 2021 lalu saya menemui Hasto di Jakarta dan bertanya soal pernyataannya tentang impor beras. Iamenjawab dengan menyodorkan artikelnya berjudul, "Berpolitik Itu Persoalan Hati."
"Politik itu berpihak. Politik itu berkebudayaan, dan politik itu penuh dengan rasa cinta kepada Tanah Air," lanjut Hasto dalam artikelnya  pada  buku "The Brave Lady" yang diberikan kepada saya.
Menanggapi masalah impor beras ini, Presiden Joko Widodo  dalam pernyataan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat 26 Maret 2021 ini antara lain mengatakan, tidak akan ada impor komoditas beras hingga bulan Juni mendatang. Kata Presiden, selama tiga tahun ini, Indonesia tidak impor beras.
Setelah Juni 2021 bagaimana, apakah ada impor ? Mungkin ya, mungkin tidak.
Beras memang barang ajaib dalam politik di Nusantara sejak ratusan tahun lalu. Masalah beras juga menjadi salah satu faktor dalam perang pasukan Sultan Agung dari Mataram melawan pasukan penjajah kaum pedagang Eropa yang tergabung dalam VOC (Vereenigde Indische Compagnie) di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen tahun 1628 dan 1629.
Beras masih akan terus menjadi bahan pangan pokok Indonesia beserta berbagai masalah yang muncul.