"Ia akan bertindak berlebihan bila saja melihat ada yang menentangnya," kata Gus Dur yang ditulis Greg Barton.
Oleh karena itulah setelah memenangkan pertarungan dalam pemilihan ketua umum PBNU di Cipasung, Desember 1994, Gus Dur lebih memilih untuk melakukan strategi langkah mundur menghindari tekanan dari rezim Soeharto. Ia "berdamai" dengan Soeharto. Bahkan ia bertemu dan bersalam dengan Soeharto.
"Dalam pertemuan nasional Rabitah Ma'ahid Islamiyah (RMI), salah satu organisasi pesantren yang berafiliasi dengan NU, di sebuah pesantren di Probolinggo, Jawa Timur, 2 November, Gus Dur mengulurkan tangannya kepada Soeharto
"[...] Soeharto menyambut dengan hangat dan mereka berdua berjalan berbimbing-bimbingan ke tangan ke tempat duduk bagian depan. Esok harinya Gus Dur mengumumkan, NU menerima kenyataan, Soeharto akan menjadi presiden ke-7 kalinya," kata buku itu.
Gus Dur banyak dikritik teman-temannya, yang lebih "menjengkelkan" lagi kemudian Gus Dur berhandai-handai dengan Tutut, putri tertua Soeharto. Namun setelah itu, dua pekan setelah pertemuan dengan Soeharto, rivalnya dalam Muktamar di Cipasung 1994, Abu Hasan yang dijadikan ujung tombak oleh rezim Soeharto, meminta maaf kepada Gus Dur.
Gus Dur menang, walau hampir gagal dalam muktamar di Cipasung, kendatipun rezim Soeharto dengan segala cara yang "jahat" dan tidak bermoral". Cara jahat dan tidak bermoral itu juga dilakukan terhadap Megawati setelah kemenangannya di KLB Surabaya dan Munas Kemang sampai setelah peristiwa berdarah di Markas PDI Jalan Diponegoro 58, 27 Juli 1996.
(bersambung)