Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tanda-tanda Hilangnya Mandat Langit (I)

14 Juli 2020   06:23 Diperbarui: 15 Juli 2020   19:05 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (WIkimedia/Creative Commons)

"Ia akan bertindak berlebihan bila saja melihat ada yang menentangnya," kata Gus Dur yang ditulis Greg Barton.

Oleh karena itulah setelah memenangkan pertarungan dalam pemilihan ketua umum PBNU di Cipasung, Desember 1994, Gus Dur lebih memilih untuk melakukan strategi langkah mundur menghindari tekanan dari rezim Soeharto. Ia "berdamai" dengan Soeharto. Bahkan ia bertemu dan bersalam dengan Soeharto.

"Dalam pertemuan nasional Rabitah Ma'ahid Islamiyah (RMI), salah satu organisasi pesantren yang berafiliasi dengan NU, di sebuah pesantren di Probolinggo, Jawa Timur, 2 November, Gus Dur mengulurkan tangannya kepada Soeharto

"[...] Soeharto menyambut dengan hangat dan mereka berdua berjalan berbimbing-bimbingan ke tangan ke tempat duduk bagian depan. Esok harinya Gus Dur mengumumkan, NU menerima kenyataan, Soeharto akan menjadi presiden ke-7 kalinya," kata buku itu.

Gus Dur banyak dikritik teman-temannya, yang lebih "menjengkelkan" lagi kemudian Gus Dur berhandai-handai dengan Tutut, putri tertua Soeharto. Namun setelah itu, dua pekan setelah pertemuan dengan Soeharto, rivalnya dalam Muktamar di Cipasung 1994, Abu Hasan yang dijadikan ujung tombak oleh rezim Soeharto, meminta maaf kepada Gus Dur.

Gus Dur menang, walau hampir gagal dalam muktamar di Cipasung, kendatipun rezim Soeharto dengan segala cara yang "jahat" dan tidak bermoral". Cara jahat dan tidak bermoral itu juga dilakukan terhadap Megawati setelah kemenangannya di KLB Surabaya dan Munas Kemang sampai setelah peristiwa berdarah di Markas PDI Jalan Diponegoro 58, 27 Juli 1996.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun