Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tanda-tanda Hilangnya Mandat Langit (I)

14 Juli 2020   06:23 Diperbarui: 15 Juli 2020   19:05 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (WIkimedia/Creative Commons)

Dalam perjalanan pulang dari Eropa Timur, termasuk Russia, September 1989, ketika menjawab pertanyaan wartawan di dalam pesawat terbang, dengan senyum dan tangan terkepal ia mengatakan "tak gebug" (saya hantam, hajar, pukul, embat). Kata-kata keras itu muncul, sebenarnya di luar konteks langsung dari pertanyaan wartawan secara tersurat.

Tahun 1994, beberapa bulan setelah peristiwa terpilihnya Megawati jadi ketua umum PDI dalam kongres luar biasa PDI di Surabaya (2 sampai 6 Desember 1993) dan musyawarah nasional PDI di Kemang, Jakarta (22 sampai 3 Desember 1993), seorang jenderal yang menjadi menteri, memegang lengan saya di pelataran Bina Graha, kompleks istana kepresidenan di Jakarta.

"Ojo kelalen tak gebug lho mas. Elingno Gus Dur karo Mega (jangan lupakan kosa kata tak gebug itu. Ingatkan kepada Mega dan Gus Dur)," demikian kata jenderal bintang empat itu.

Sang jenderal itu mengingatkan kepada saya tentang ucapan "tak gebug" yang sangat populer itu. Saat itu juga sudah muncul berita-berita akan berlangsungnya Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat (1 - 5 Desember 1994). Saat itu Gus Dur sudah tersiar akan masuk dalam pencalonan kembali jadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU).

Jenderal itu mengatakan kata-kata "tak gebug" itu membuat dia miris dan khawatir. Sang jenderal juga memberi pesan kepada saya yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini.

Mula-mula-mula saya tidak tau arti kata-kata pesan itu karena dalam bahasa Belanda. Lalu sang jenderal menuliskan dalam notes saya. Bunyinya begini: "Omongan tak gebug kuwi iso dadi tekenen des tijds (Bahasa Jawa campur Belanda artinya omongan itu bisa jadi "tanda-tanda zaman)," tulis Sang Jenderal, yang menjadi menteri Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan VI (1993-1998). Sang jenderal ini berpesan beberapa kali agar ucapannya saat itu off the record.

Menjelang tahun 1996, tulis Greg Barton dalam bukunya (halaman 264), ada tanda-tanda buruk akan datangnya masalah, khususnya setelah Nyonya Tien Soeharto meninggal pada bulan April (Minggu pagi, 28 April 1996) [...] Kehilangan Nyonya Tien, seorang yang sangat dipercayainya, menurut buku Greg Barton, mengganggu kestabilan diri Soeharto.

Sebagai catatan kecil dan selingan dalam tulisan saya ini, saya tidak menyebut Nyonya Tien Soeharto sebagai Ibu Negara. Ini menjadi tradisi di Redaksi Kompas, setiap istri presiden tidak dituliskan sebagai Ibu Negara, tapi disebut "nyonya". Di masa-masa sebelum Joko Widodo jadi presiden, setiap kali menyebut Ibu Negara Ainun Habibie, Ibu Negara Nuriah Abdurrahman Wahid atau Ibu Negara Anni Susilo Bambang Yudhoyono, selalu diganti jadi "nyonya". Baru setelah Jokowi jadi presiden, Kompas menuliskan Ibu Negara Iriana Joko Widodo.

Kita kembali tentang ketidakstabilan Soeharto setelah alamrhumah Nyonya Tien meninggal. Saya jadi ingat, dalam acara peringatan tujuh hari meninggalnya Nyonya Tien, di tempat kediaman pribadinya, di Jalan Cendana, Jakarta, Soeharto menyatakan kesedihannya atas kepergian istri tercinta itu.

"Sejak hari Minggu pagi, tanggal 28 April 1996, ada sesuatu yang hilang dari tengah-tengah keluarga kami, sesuatu yang tak ternilai harganya bagi kami," kata Soeharto yang saya rekam dan catat itu (Kompas, Sabtu 4 Mei 1996).

Menurut visi Gus Dur, tulis Greg Barton, ketidakstabilan Soeharto itu justru membahayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun