Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

L’histoire se Repete-32: Ketika Jawa Kuno Memberantas Korupsi

30 September 2010   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak orang berpendapat bahwa saat inilah masa di mana tidak ada harapan lagi untuk setiap usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terus menerus mengalami tekanan dari berbagai penjuru yang berujung pada mengendurnya usaha memburu pelaku-pelaku korupsi. Kalau pun KPK tetap gigih memburu para koruptor, pihak kejaksaan, kehakiman dan pengacara yang terlibat dalam sistem pengadilan anti korupsi masih menunjukkan kinerja yang memprihatinkan. Beberapa parameter dari kinerja yang memprihatinkan itu adalah rendahnya tuntutan jaksa dalam setiap kasus korupsi. Sudah menjadi fakta bahwa sampai saat ini ancaman hukuman terberat tidak pernah diajukan oleh para jaksa dalam perkara korupsi. Kebanyakan tuntutan adalah kurang dari 10 tahun, malah rata-rata tuntutan sekitar 5 tahun saja untuk beragam angka kerugian yang ditaksir diderita oleh negara. Sudah tuntutannya rendah, vonis yang dijatuhkan oleh hakim kebanyakan jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, vonisnya malahan berkisar pada rentang 2 sampai 4 tahun saja. Setelah vonis dijatuhkan, masih banyak lagi fasilitas yang diterima oleh para terpidana korupsi seperti pemotongan masa kurungan dalam bentuk remisi, cuti sakit atau berobat, asimilasi maupun bahkan grasi. Tampaknya memang sudah tidak ada harapan lagi untuk masalah yang satu ini. Dalam situasi seperti ini masyarakat biasanya mencari-cari patron atau teladan, entah tokoh atau sistem, untuk bisa membenahi keruwetan ini. Dan terkadang dari masa lalulah mereka mendapatkan jawabannya. Beberapa orang berpaling kepada Cina. Mereka berharap supaya kelak ada tokoh pengadil yang sebijaksana Judge Bao atau hakim Bao yang termasyur pada jaman Cina kuno tersebut. Mereka berharap seandainya saja di Indonesia ada tokoh yang seadil dan selurus dia, pastilah korupsi bisa ditekan sekecil mungkin. Sebuah harapan yang masuk akal, karena sekarang Cina memang berada di garis depan dalam upaya memberantas korupsi di negaranya. Sudah menjadi fakta di Cina bahwa kejahatan korupsi hampir selalu berujung pada hukuman mati. Beberapa orang berharap Indonesia memiliki pemimpin sekaliber Salomo atau Sulaiman, penguasa Israel kuno yang terkenal dengan keadilan dan kebijaksanaannya dalam memutuskan suatu perkara. Sebuah harapan yang sah-sah saja untuk digantungkan. Tapi tahukah Anda bahwa Nusantara di masa lalu terutama pada masa Jawa Kuno kita juga memiliki tokoh pemimpin yang sangat konsisten dan berani dalam memberantas kejahatan korupsi. Ini yang saya mau ceritakan kepada Anda. Adalah Kerajaan Kalingga, yang saya maksudkan di atas. Kerajaan ini berdiri kemungkinan besar saat Tarumanagara menuju pada kemundurannya. Kerajaan Kalingga yang terletak di daerah Jawa tengah bagian utara (kira-kira sekitar Jepara) ini hampir bersamaan waktunya dengan kemunculan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Demikianlah yang secara tersamar dilaporkan oleh rahib I-Tsing setelah dia melakukan perjalanan pulang pergi dari Cina ke India antara tahun 671 sampai tahun 692 M dengan maksud untuk melakukan ziarah Agama Budha. Dalam laporannya, I-Tsing mencatat bahwa di Ho-ling (Kalingga) terdapat rahib Budha bernama Hwi-ning yang tinggal di sana pada tahun 664 - 667 M. Rahib Hwi-Ning bekerjasama dengan pendeta dari Ho-ling bernama Yoh-na-po-‘to-lo (kemungkinan besar Jnanabadhra) menterjemahkan kitab suci agama Budha Hinayana. [caption id="attachment_273791" align="aligncenter" width="300" caption="Prasasti Tukmas (sumber: www.purbakala.jawatengah.go.id)"][/caption] Ada keterkaitan antara pendeta Jnanabadhra dengan prasasti bertarikh 650 M yang ditemukan di Tukmas, Grabag, Magelang. Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Terjemahan prasasti itu saya kutipkan dari www.wacananusantara.org adalah sebagai berikut: "Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu dan pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih serta mengalir kesana kesini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti Sungai Gangga". Di atas tulisan ini ada gambar leksana, cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap dan 4 bunga fatma. [caption id="attachment_273792" align="aligncenter" width="240" caption="Salinan Prasasti Tukmas (sumber: www.ontirontir.blogspot.com)"][/caption] W.P. Groeneveldt dalam bukunya berjudul "Nusantara Dalam Catatan Tionghoa" menemukan catatan tentang Kalingga dalam buku 197 dan buku 222 Sejarah Dinasti Tang (618 - 907 M). Disebutkan nama Kerajaan Ho-Ling atau "Kaling", "Kling" atau "Kalingga" dalam lidah Indonesia sekarang. Diceritakan bahwa Kalingga terletak di samudera selatan, di sebelah timur Sumatera, di sebelah barat Bali, di sebelah selatannya terdapat lautan dan di sebelah utaranya terdapat Kamboja. Konon, tembok kotanya terbuat dari balok-balok kayu dan di dalamnya terdapat bagunan besar berlantai dua yang beratapkan daun palem di sama sang raja berdiam. Tahta raja adalah balai-balai yang terbuat dari gading dengan tikar yang terbuat dari bambu. Kerajaan ini terkenal sangat kaya, tercatat menghasilkan tempurung penyu, emas, perak, cula badak dan gading. Mempunyai gua sumber air garam yang bisa keluar sendiri. Penduduknya makan menggunakan tangan tanpa sendok atau sumpit. Juga terbiasa membuat dan meminum alkohol dari arak pohon kelapa, terkadang sampai mabuk. O, ya kemungkinan besar mereka adalah imigran Hindu dari India yang pada mulanya bermukim di daerah Rembang sekarang lalu pada tahun 500-an Masehi pindah ke daerah Dieng sehingga disebut dalam catatan Cina sebagai Lang-bi-ya (orang Biya, orang Diang, atau orang Dieng). Tapi sejarah Cina mencatat bahwa ibukota Kalingga adalah Ja-pa (atau Japara, Jepara sekarang) walaupun rajanya sering berkunjung ke wilayah Dieng. [caption id="attachment_273800" align="aligncenter" width="250" caption="Lokasi Kerajaan Kalingga (sumber: www.id.wikipedia.org)"][/caption] Jadi, sama seperti di wilayah Tarumanagara di Jawa Barat, tampaknya toleransi beragama juga sudah menjadi nilai yang diagungkan dan diaplikasikan di Kalingga. Hal ini tampak dari adanya 2 penganut agama yaitu Hindu dan Budha yang berkembang di sana. Bahkan sampai ada ahli theologi Budha yang terkenal sampai Cina pula. Tercatat dalam sejarah dinasti Tang, bahwa pada masa Zhenguan (627 - 649 M) Kalingga bersama kerajaan dari Bali pernah mengirimkan utusan ke Cina. Berikutnya tercatat bahwa pada tahun 674, penduduk kerajaan Kalingga mengangkat seorang wanita bernama Shima untuk menjadi ratu mereka. Ratu Shima inilah yang kelak akan besanan dengan pendiri kerajaan Galuh di Jawa bagian barat sampai kemudian menurunkan raja-raja di kerajaan Mataram Kuno. Menariknya, secara detail Cina menyatakan kekagumannya pada kebijaksanaan Ratu Shima dalam menjalankan pemerintahan yang anti korupsi serta menjalankan pengadilan yang bebas dari intervensi dan patuh pada hukum negara tanpa tebang pilih atau pandang bulu. Konon, pada saat itu ada hukum Kalingga yang menyatakan bahwa untuk barang-barang yang terjatuh di jalan tidak boleh ada siapa pun yang menyentuhnya. Dan sudah terkenal sampai luar negeri mengenai keluhuran budi Kerajaan Kalingga ini. Mungkin karena ingin mencoba atau menguji kebenaran berita ini pada suatu hari seorang pemimpin komunitas Arab di pantai barat Sumatera datang mengunjungi Kalingga lalu menaruh sebuah tas berisi uang dan meletakkannya di perbatasan negara. Sesuai dengan hukum di kerajaan ini setiap orang yang lewat selalu menghindari tas itu sehingga selama 3 tahun demikian tas tersebut tetap di tempatnya. Suatu hari, putera mahkota melangkahi tas tersebut. Mendapat laporan tentang hal itu, betapa marah Ratu Shima dan akan menghukum mati putera mahkota. Para menteri meminta ratu mengurangi hukuman tersebut lalu Ratu Shima menjatuhkan hukuman potong kaki. Para menteri masih memohonkan keringanan hukuman bagi putera mahkota. Akhirnya Ratu Shima menghukum putera mahkota dengan memotong ibu jari kakinya. Vonis dari Ratu Shima membuat orang-orang asing, terutama pedagang Arab menjadi takut akan kewibawaan kerajaan dan tidak berani mengganggu lagi. Ratu Shima kemudian besanan dengan raja pertama Kerajaan Galuh, Wretikandayun. Putri Ratu Shima yang bernama Parwati menikah dengan Pangeran Mandiminyak dari Galuh. Dari sinilah kisah mengenai prahara di tanah Sunda dan kisah mengenai munculnya kerajaan Mataram Kuno di Jawa bagian tengah akan dimulai. Saya akan ceritakan di serial berikutnya. Demikianlah kisah tentang Kerajaan Kalingga yang termasyhur itu. Jadi kalau sekarang ini oleh dunia kita dinobatkan sebagai negeri terkorup dengan jumlah penduduk miskin yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya, tampaknya benar kata banyak orang bahwa negeri kita ini memang mengalami kemunduran peradaban. Kemunduran peradaban itu juga tampak dari banyaknya tawuran antar kelompok, juga bentrok antar suku dan umat beragama di Indonesia sekarang, bahkan di muka hidung para pejabat dan petugas keamanan sekalipun. Kemunduran peradaban juga terlihat dari semakin lemahnya kepemimpinan di Indonesia. Nyaris, Indonesia sekarang bagaikan negeri tanpa pemerintah dan pemimpin. Indonesia modern ternyata jauh lebih buruk dibandingkan Nusantara di masa lalu. Ah........ Sumber literatur: 1. W. P. Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa, Komunitas Bambu Jakarta, 2009 2. http://www.wacananusantara.org/6/703/kerajaan-kalingga 3. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kalingga 4. http://asyikbelajarsejarah.blogspot.com/2009/01/kerajaan-kalingga.html (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 30 September 2010)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun