Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Benarkah Indonesia Akan Berperang?

17 Maret 2010   11:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 2528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Apakah Anda membaca berita di akhir bulan Januari kemarin, mengenai kecelakaan yang ditimbulkan oleh uji coba peluru kendali lokal buatan LAPAN dan TNI AL ? Mungkin Anda akan tersenyum saat mengetahui bahwa prototipe peluru kendali tersebut meleset lebih jauh 2 km dari desain semula yang hanya 10 km. Turut berdukacita dengan terjadinya korban di pihak sipil, penduduk sekitar lokasi uji coba. Tapi sebagai seorang pekerja di bidang engineering, saya merasa itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah teknologi baru. Banyak diberitakan bahwa teknologi rudal (peluru kendali) adalah teknologi yang bersifat rahasia. Kalau Anda membeli langsung jadi dari pihak atau negara pembuatnya sih paling gampang, yang penting punya uang. Tapi bagaimana kalau pihak pembeli mengembargo ? Anda tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara, teknologi rudal tergolong teknologi yang sangat rumit dan kompleks. Di dalamnya terdapat teknologi instrumentation dan control system yang meliputi sensor ukur dan sistem kendali, lalu aerodinamika, teknologi bahan peledak dan ini yang paling penting, teknologi bahan bakar rudal yang memungkinkan rudal bisa menjelajah sekian kilometer sesuai parameter yang diinputkan. Jadi jangan anggap remeh usaha dalam negeri untuk memproduksi rudal ini. Perlu niat dan kesabaran dari pemerintah karena pengembangan teknologi tinggi ini memerlukan waktu, biaya dan bahkan kesalahan untuk menyempurnakan desainnya. Tahapan yang sama juga sudah dilalui oleh PT Dirgantara Indonesia (dulu PT IPTN) yang sudah mampu mengembangkan dan memproduksi sendiri torpedo SUT (Surface and Under water Target) yang sekarang sudah lazim dipakai di kapal selam maupun kapal perang TNI AL.

 

 

 

Jadi sangat menyakitkan kalau masih ada pihak-pihak, termasuk segelintir oknum DPR, yang masih meremehkan kemampuan otak Indonesia untuk membuat alut sista sendiri. Dengan alasan efisiensi biaya, efisiensi waktu dan dengan kualitas yang sudah teruji (battle proven), segelintir orang ini lebih senang untuk mengarahkan pembelian alut sista secara langsung dari negara-negara barat ketimbang mendorong pengembangan alut sista oleh anak bangsa sendiri.

 

 

 

Untuk mematahkan logika berpikir yang aneh ini pertanyaan penting ini perlu diajukan, apakah kita akan berperang dalam waktu dekat ini ? Kalau berperang, dengan siapa kita akan berperang ? Dan kapan ? Adalah benar kalau memang kita akan berperang dalam waktu dekat ini, lebih baik kita membeli alut sista yang memang sudah battle proven. Sementara dalam pertemuan bulan Januari kemarin presiden selaku Panglima tertinggi TNI menyatakan bahwa kecil sekali kemungkinannya kita akan benar-benar berperang dalam waktu dekat ini. Jadi apa urgensinya kalau kita mengimpor alut sista sekarang ?

 

 

Hal terpenting untuk dipenuhi dalam jangka waktu dekat ini adalah meng-upgrade pesawat Hercules, melengkapi skuadron pesawat Sukhoi dan mendatangkan 1 atau 2 kapal selam baru. Upgrade pesawat Hercules mendesak mengingat usia Hercules yang sudah tua dan kepentingannya sebagai pesawat angkut pasukan atau bantuan bencana. Skuadron Sukhoi perlu dilengkapi untuk meningkatkan efek penggetar kepada negeri tetangga juga membiasakan sumber daya manusia TNI AU terhadap teknologi mutakhir pada pesawat ini. Sementara kapal selam baru dibutuhkan untuk mengimbangi kapal selam Scorpene milik Malaysia dan kapal selam Singapura maupun Australia.

 

 

 

Lalu apa yang bisa dilakukan di masa damai ini, mumpung belum ada indikasi melakukan peperangan dalam waktu dekat ini ? Yang lazim dilakukan oleh negara-negara dengan pemerintahnya yang benar adalah melakukan riset dalam negeri untuk melakukan pengembangan alut sista dalam negeri. Singapura sebagai negara yang tenang dan damai sudah berhasil mengembangkan dan memproduksi senapan SAR 21 berkaliber 5,56mm, senapan mesin Ultimax STK dengan kaliber 5,56 x 45 mm, pelontar granat 40mm, meriam FH2000 dan kendaraan amfibi Warthog. Inggris bahkan sudah memesan 100 Warthog untuk digunakan operasi di Afganistan.

 

 

Indonesia sudah lumayan bagus dalam hal senapan. PT Pindad sudah lebih dari layak untuk memenuhi kebutuhan TNI akan senapan dengan produk SS1 beserta seluruh variannya. Beberapa kali prajurit kita menjadi juara 1 dalam kejuaraan menembak antar tentara dengan SS1 ini. Patut diacungi jempol adalah keputusan SBY dan JK untuk memperlengkapi TNI AD dengan 150 panser APS Anoa 6x6 produksi PT Pindad. Mungkin saat ini masih ada beberapa kekurangan, itu lazim dalam sebuah pengembangan teknologi. Semakin sering digunakan, semakin ditemui ada kekurangan di sana sini semakin menjadi berkah bagi PT Pindad untuk menyempurnakan desain produknya.

 

 

Pengembangan alut sista kita sudah hebat sebenarnya. Kendaraan tempur Raptor dan Aligator, kendaraan P2 Komando, P3 Ransus, P2 APC dan meriam 105mm adalah sekian contoh dari prototipe yang sudah dikembangkan oleh otak-otak Indonesia kita. Alangkah baiknya kalau di masa damai ini, prototipe tersebut bisa diproduksi massal supaya bisa segera diketahui kelebihan dan kekurangannya.

 

 

 

PT PAL juga sudah bisa membuat rancang bangun kapal korvet Nasional kelas Sigma. Bila kita sudah memesan 4 kapal korvet sigma dari Belanda (dengan harga yang mahal tapi kita sedikit sekali mendapat transfer teknologi dari bekas penjajah kita tersebut), apakah pemerintah tidak mau menganggarkan uangnya untuk memesan kapal korvet dari PT PAL. Bandingkan dengan Singapura yang sudah bisa membuat sendiri kapal korvet Formidable class dengan lisensi Perancis atau Malaysia yang sudah bisa membuat kapal korvet Meko class dengan lisensi Jerman.

 

 

Satu hal yang membanggakan adalah otak-otak Indonesia sudah berhasil membuat radar sendiri bahkan sudah bisa meproduksi Night Vision Telescope sendiri, berarti kita sudah selangkah di depan negara-negara tetangga kita. Tinggal pemerintah mau tidak menghargai otak-otak sendiri untuk memakai radar buatan lokal ini di kapal-kapal kita atau teleskop malam lokal sebagai perlengkapan standar pasukan khusus kita.

 

 

 

Pesawat intai Nomad sudah seharusnya diganti karena usianya yang menua. Dan sebagai penggantinya, seharusnya pesawat intai maritim CN235 MPA buatan PT DI menjadi pilihan utama dan pertama. Apalagi kalau skuadron UAV lokal jadi dibangun, kita akan lebih jauh di depan lagi.

 

 

 

Banyak pihak berpendapat bahwa sekarang yang diutamakan adalah pembangunan ekonomi, jadi pembangunan alut sista menjadi prioritas kesekian. Logika tersebut benar kalau pemerintah hanya mengimpor saja alut sista tersebut dari negara-negara asing sehingga devisa dalam negeri habis mengalir ke negara lain. Tapi logika tersebut salah kalau kita mengembangkan sendiri alut sista lokal untuk memenuhi kebutuhan angkatan perang kita. Bayangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan bila pemerintah memesan sekian CN235 MPA dari PT DI. Ekonomi PT DI dan Bandung akan kembali menggeliat. Tenaga kerja akan banyak diserap walaupun dalam bentuk outsourcing, tenaga ahli pengelasan akan kembali bekerja demikian pula tenaga-tenaga ahli yang lain. Para insinyur yang baru lulus juga bisa bernafas lega karena ada lapangan kerja baru. 

 

 

Bayangkan bila PT PAL mendapat pesanan kapal korvet nasional. Ekonomi Surabaya akan menggeliat, banyak tenaga kerja yang bisa diserap, pengalaman insinyur kita semakin terasah. Kalau PT PAL mampu menyelesaikan pesanan kapal tanker dari Italia yang begitu besar, lalu mampu membangun anjungan minyak yang begitu complicated, masak negara sendiri tidak mau memberikan dukungan dan kepercayaan ?

 

 

Jadi siapa bilang kalau memproduksi sendiri alut sista tidak memiliki dampak secara ekonomi ? Masalahnya bukan karena kita tidak mampu, tapi karena tidak mau maju.

 

 

(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 17 Maret 2010)

 

 

Sumber foto:

1.http://regional.kompas.com/read/2010/01/28/13053558/Uji.Coba.Roket.Lapan.Suami.Istri.Lukaluka.

2. Majalah TEMPUR, Januari 2007

3. www.pal.co.id

4. http://bambangherlandi.web.id/2009/08/30/

Tulisan terkait:

http://teknologi.kompasiana.com/2009/10/28/serial-otak-indonesia-2-uav-made-in-indonesia/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun