Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun 2016: Melihat Papua dari Sudut Lain

26 Desember 2020   13:33 Diperbarui: 26 Desember 2020   13:48 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama anak-anak kampung Irarutu, Distrik Babo

Bulan Maret 2016 saya ke berangkat dari ibukota Sorong Selatan di Teminabuan menuju Babo, sebuah distrik kecamatan di bawah kabupaten Teluk Bintuni. Masih satu provinsi dengan Sorong Selatan yakni Papua Barat. Jika diselisik dari peta geografi dua wilayah ini masih sama-sama berada di bagian kepala burung cenderawasih yang ikonis itu.
             
Di bulan itu sebuah telpon dari nomor yang sama selama berhari-hari selalu mengusik aktivitas. Sama menjengkelkannya dengan sakit gigi yang kebetulan mendera. Hingga akhirnya saya mengiyakan ajakan orang di ujung telepon untuk berangkat.
       
Perjalanan dari Teminabuan menuju Babo tidak sebentar. Meski satu provinsi, waktu tempuh perjalanan nyatanya sampai satu hari lebih sedikit.
       
Dari Teminabuan menuju kota Sorong berjarak sekira 170 kilometer. Terus dari Sorong menuju Distrik Babo menggunakan kapal cepat biasanya 20 jam. Berangkat agak siang dari Pelabuhan Rakyat di kawasan Malawei, Sorong dan tiba di pelabuhan Babo pagi hari.
         
Dalam rangka apa saya ke Babo? Cari kerja. Bukan karena sebelumnya tak punya kerja hanya saja waktu itu di usai yang masih sangat muda obsesi untuk mendapatkan hal yang lebih selalu membuncah melebihi kemampuan yang ada. Dan parahnya semua dilakukan tanpa perhitungan yang jelas dan terkesan buru-buru. Akhirnya ya begitulah. Yang dicari tak didapat, yang ditinggalkan malah kian menjauh. Saya merana di ujung jalan. Eh.
               
Namun jika pun dibilang cari kerja sebenarnya itu tak juga sepenuhnya benar. Pekerjaan sebenarnya sudah ditemukan. Tinggal apply, menyiapkan administrasi yang dibutuhkan, interview, training dan bla bla bla. Sayangnya semua tak sejalan. Kalau kata Hapsa itu realita tak sesuai dengan ekspektasi. Eah.
     
Kalau ada yang tanya mau kerja apa di Babo waktu itu cari saja di gugel. Keyword-nya: LNG Tangguh. Konon dengan bekerja di sana seseorang akan sejahtera kehidupannya. Itu juga yang mungkin membuat saya tergiur.
       
Saat tiba di Babo saya agak terkejut dengan kondisi yang saya lihat. Sebenarnya sebelum ke sana pun saya telah mengumpulkan banyak sekali informasi mengenai daerah itu melalui internet maupun sumber lisan. Mulai dari geografisnya, kondisi sosial masyarakat, demografi, dan lain-lain sebagimana kebiasaan saya saat hendak ke satu daerah yang baru pertama didatangi. Tapi seperti kita tahu gugel dan wikipedia tak selalu bisa menjelaskan semuanya. Jangankan detail sebuah masyarakat, cita-citanya La Ongen saja luput dari pengetahuannya gugel.
       
Distrik Babo adalah wilayah kecamatan terbesar di kabupaten Teluk Bintuni. Wilayah ini berada di dalam teluk. Sepanjang pesisir adalah rawa dengan dipenuhi hutan bakau. Distrik Babo sendiri terdiri dari 8 kampung di mana ibu kota distrik adalah kampung Irarutu yang menjadi tempat tujuan saya. Kampung itu merupakan yang paling ramai di antara lainnya. Meski cuma sekadar kampung tapi segala fasilitas perkotaan ada di sana. Pasar, pelabuhan, bandara, puskesmas dengan standar mutu pelayanan yang sudah terakreditasi sangat baik, mini market, jalanan yang teratur.
         
         
Cerita disingkat...
         
Seminggu tinggal di Babo saya tak kunjung mendapat kejelasan. Dua minggu pun masih sama. Kantong yang mulai terdesak membuat saya berinisiatif mencari kerja lain sembari menunggu kelanjutan proses rekrutmen yang sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda buruk.
         
Akhirnya di tengah rasa jengkel saya pun kerja ikut tetangga pergi melaut mencari karaka. Perlu ditahu karaka ini adalah jenis kepiting yang hidup di hutan bakau. Ukurannya besar. Warnanya gelap, berbeda dengan warna kepiting kebanyakan. Kepiting ini banyak terdapat di Papua dan oleh orang sana kerap dinamai kepiting hitam. Kalau soal rasa jangan ditanya. Sulit dideskripsikan.
           
Nelayan pencari karaka sendiri mayoritas berasal dari wilayah di Baubau seperti Kecamatan Bungi. Umumnya mereka memang menguasai ilmu menangkap karaka sejak dari kampung. Kedekatan dengan mereka yang lalu membawa saya ikut menggeluti pekerjaan itu.
           
Beberapa waktu bekerja kulit saya mulai terbakar. Warna legam melekat. Saya lalu berhenti. Ada yang tawari kerja lain. Lebih banyak duduk di dalam ruangan dan berbicara, saya iyakan. Meski gaji kecil itu tak soal. Yang penting bisa bertahan dulu.
         
Sebulan di Babo saya mulai merasa nyaman. Kampung yang jauh dari kota, tenang, juga penduduk yang mayoritas muslim membuat saya bisa beradaptasi pelan-pelan. Ya, masyarakat Babo, Papua Barat mayoritas adalah muslim. Wilayah yang berada di pesisir membuat Islam dulunya bisa lebih mudah masuk di sini jika dibanding dengan wilayah-wilayah Papua lain yang berada di pegunungan. Penduduknya pun banyak yang peranakan.
           
Keakraban dengan warga kampung membuat saya akhirnya jatuh hati pada seorang gadis asli kampung itu. Namanya Riska. Waktu itu ia masih kelas dua esema. Sebagaimana ciri orang asli Papua ia pun tidak berambut lurus. Tidak juga keriting. Tapi ikal. Kulitnya putih menguning. Dan ia belum berjilbab waktu itu. Senyumnya begitu manis. Sayang saya tak sampai hati memacarinya karena ada juga tetangga di tempat tinggal yang sama manisnya. Namanya Via. Orang tuanya dari Sumatera yang tugas di Babo. Kami bertemu hanya hari sabtu dan minggu karena ia sekolah di kota Bintuni. Sementara selama senin sampai Jumat saya dekat dengan si gadis Papua tadi, Riska. Jadilah saya seperti pimpong yang ke sana kemari. Sebenarnya itu bukan sesuatu yang perlu diceritakan. Tapi tidak apa-apa. Hitung-hitung merawat ingatan. Apalagi dengan keduanya saya sudah lama tak saling berkabar. Terakhir kemarin saya dan Via berencana untuk bertemu di Makassar. Dia bilang biar dia mengongkosi perjalanan karena tahu saya hanya penjual pisang goreng yang kerap dikejar-kejar polisi pamong praja. Sayangnya pertemuan itu urung terjadi gara-gara Pemkot Makassar yang kebelet menerapkan PSBB ketat.
             
Menjelang ramadhan saya cabut dari Babo. Kali ini menuju pulau Buru. Tepatnya di Waeapo, di luar kota Namlea. Seperti biasa urusan jualan.
       
Langkah itu saya pilih setelah memastikan saya memang benar-benar tak bisa bekerja di LNG Tangguh tadi. Saya pergi membawa banyak sekali kenangan perihal kampung Irarutu di distrik Babo.
         
Kampung kecil yang asri. Karena masuk wilayah eksplorasi LNG Tangguh maka kampung ini dan beberapa daerah di sekitarnya mendapatkan banyak subsidi bantuan. Mulai dari kesehatan, pendidikan, jaminan pekerjaan dan lain-lain. Di sana pendidikan benar-benar gratis. Dari ujung kepala sampai ujung kaki semua digratiskan. Untuk ke sekolah pun sudah disediakan bus yang meski kenyataannya justru tak terpakai karena anak-anak lebih suka bersepeda. Begitu pun pelayanan kesehatan. Di sana puskesmasnya sudah akreditasi A untuk standar mutu pelayanan. Tak ada biaya berobat. Baik warga asli maupun pendatang.
       
Pendidikan menjadi sektor yang paling diperhatikan di sana. Seorang Danramil bahkan punya tugas khusus untuk memastikan anak-anak sekolah tak ada yang terlambat atau bolos. Setiap hari ia berkeliling dengan motor serta kayu pemukul.
       
Saat lulus esema anak-anak di sana juga difasilitasi beasiswa untuk lanjut sekolah di luar daerah. Sesuatu yang rasanya perlu dicontoh pemerintah dalam upaya mewujudkan SDM unggul di negara ini.
         
Terakhir, untuk Riska dan tetanggaku Via. Saya berpesan untuk kelak akan kembali jika ada kesempatan. Saya berharap mereka tetap baik hati dan tentu saja cantik.
       
Meski kemudian harapan bergabung di LNG Tangguh itu gagal saya bersyukur memeroleh banyak pelajaran penting di Babo. Sejumlah pelajaran yang kemudian saya jadikan bekal untuk mengahadapi sengitnya masa mendatang. Tidak lagi ceroboh, tak lagi mudah diperdayai. Juga terakhir saya justru menjadi lebih tangguh saat pergi dari sana.
         
     
Ambon, sehari setelah natal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun