Lelaki itu adalah peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015 lalu bersama wali kota Surabaya Tri Rismaharini. Siapa dia?
Hanyalah seorang pengusaha garmen di Papua nun jauh yang tokonya tersebar di banyak kota. Ia adalah Yoyok Riyo Sudibyo, lelaki yang kini berusia 48 tahun, mantan anggota militer angkatan darat yang pensiun dini dengan pangkat terakhir mayor di Arhanud Badan Intelijen Negara 2006 silam.
Ia juga adalah mantan bupati kabupaten Batang periode 2012-2017. Posisi yang mengantarkannya meraih Bung Hatta Anti-Corruption Award itu.
Iya, hanya satu periode menjabat. Tidak lebih. Sebagaimana janjinya di awal yang tidak akan mencalonkan diri kembali setelah periode pertama usai.
Yoyok di depan rakyat kabupaten Batang telah bersumpah untuk tidak melanjutkan jabatan bupati apa pun yang terjadi jauh-jauh hari bahkan sebelum ia ditetapkan sebagai bupati secara resmi.
Padahal dalam segi prestasi di Batang ia bersama wakilnya, Soetadi telah berhasil mendongkrak banyak perubahan baik itu dari sisi pendapatan asli daerah, pengelolaan keuangan, kamtibmas, kesejahteraan masyarakat, serta sejumlah prestasi lainnya.
Yoyok Riyo Sudibyo adalah salah tokoh unik di negeri ini bila melihat kenyataan yang hari ini kita dapati di masyarakat.
Menjelang pilkada seperti sekarang nyaris semua pejabat daerah yang baru sekali periode menjabat sibuk mempersiapkan diri untuk mengamankan kursi masa jabatan periode berikutnya dalam status incumbent. Seperti tidak ingin kehilangan kursi kepala daerah, orang-orang ngotot maju kembali. Merasa diri masih pantas meneruskan jabatan, merasa masih diperlukan masyarakat, merasa masih banyak program kerja yang belum terealisasi. Begitulah sejumlah alasan yang kerap dipaparkan petahana setiap musim pilkada. Tapi Yoyok adalah sosok yang lain dari itu.
Tahun 1994 ia lulus akademi militer sebagai perwira. Sejumlah posisi ia emban di masa awal berkarir. Termasuk menjadi Dandramil 03 Tanjung Priok waktu itu. Ia menjadi Dandramil termuda di Indonesia. Juga posisi strategis lain selama di Jakarta.
Awal tahun 2000 an ia ditunjuk mengisi tugas Komandan Satgas Badan Intelijen Negara (BIN) wilayah Jayawijaya di Papua. Di sana semua identitas dirinya diubah. Ia menjadi seorang pedagang sebagaimana tertera dalam surat tugasnya.
Untuk itu satu buah hardtop miliknya peninggalan selama tugas di Jakarta ia jual kepada anak buah pengusaha Tomi Winata waktu itu senilai 40 juta yang akunya dibayar berangsur sebagai modal awal membuka toko kecil-kecilan di Wamena, Papua.