Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pulang (Bagian 4)

20 Oktober 2019   08:57 Diperbarui: 20 Oktober 2019   09:30 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: netflix.com

Seperti yang sudah pernah aku tulis sebelumnya, bahwa pertemuan denganmu bisa terjadi di banyak palagan. Dari dunia nyata sampai alam mimpi. Seperti halnya pertemuan di satu petang, saat aku berdiri pada peron di stasiun, menunggu kereta, dan hujan seketika turun seakan menyahut awan yang gelap di langit. 

Tiba-tiba di arah yang lain kau datang setengah berlari dengan sebuah payung berdiameter 80an senti yang rasanya cukup untuk berteduh dua badan. Tanpa kata kau genggam tanganku, memberi isyarat untuk berjalan ke depan, memasuki pintu kereta. 

Di dalam, kita hanya saling menatap, masih tanpa kata dan suara, seperti terpenjara oleh kerja-kerja lokomotif. Hanya bibir yang berkembang yang aku lihat, bentuk bibir di mana bibir bagian bawah lebih besar, yang diartikan sebagai sifat keibuan si pemilik bibir. 

Itu hanyalah pertemuan tanpa ujung di alam mimpi. Entah bagaimana kelanjutannya, entah ke mana kereta petang itu akan berhenti. Aku tersesat di dalam nyenyaknya tidur.
         
Setiap perjalanan selalu menyimpan kisahnya sendiri-sendiri. Setiap perjalanan juga punya rasa yang berbeda-beda. Aku tahu itu. Pernah satu kali aku melihat anak kecil menerbangkan balon seikat yang ia genggam. 

Dari geraknya ia tampak sengaja melakukan itu, tapi saat balon-balon yang beterbangan itu kian tinggi si anak justru menangis. Si anak melambaikan tangan tanda memanggil untuk kembali. 

Sayangnya balon-balon itu tak pernah lagi kembali. Hingga si anak itu meratap, seperti menyanyikan lagu penyesalan yang tak jelas nadanya. Begitulah. Kadangkala kita sengaja dan secara sadar memilih untuk melepas sesuatu. Tapi di tengah jalan kita justru menyesal atas pilihan itu. Sama halnya dengan sebuah perjalanan tadi.

Dulu, dulu sekali, entah tahun berapa, dan bulan apa. Aku tidak ingat persis. Tapi bukan berarti aku sudah sangat tua sekarang, tidak juga. Dan bukan juga aku ini pelupa. Tidak, tidak begitu. Waktu itu aku memilih untuk pergi. Sangat jauh. 

Aku berharap setiap langkah kepergian bisa membuatku melupakan banyak hal yang buruk di masa silam. Aku juga berdoa supaya hal-hal baik akan datang silih berganti menyapaku di depan nanti. Aku akan bertemu hal-hal baru di sana. Termasuk cinta, orang-orang yang baik, perempuan cantik, rambut panjang, dan cerita-cerita.

Betul ternyata. Aku melihat hal baru. Aku menyentuh yang sebelumnya tak pernah tersentuh, bahkan dalam khayalan sekali pun. Aku menemukan kenyataan-kenyataan baru perihal ini dan itu. 

Mengenai sifat-sifat perempuan, perangai laki-laki beristri, gonjang-ganjing rumah tangga, pelik-peliknya urusan dapur, atau hal sepele seperti takaran bumbu pada masakan yang kurang tepat. 

Tapi aku belum menikah. Sungguh, ini hanya cerita. Atau kurang lebih pengalaman. Aku juga tidak pandai memasak. Cuma seadanya, masak nasi, masak air, syukur-syukur jika sedang ingin. 

Dan semua berlalu, berganti hal-hal baru yang datang lagi. Kian jauh aku kian tahu arti perjalanan. Makna-makna setiap langkah dan kaki-kaki beranjak, juga perih dan air mata yang tercungkil ke tanah.

Hingga suatu hari aku akhirnya tahu satu hal baru lagi. Bahwa begini: "bagaimana pun panjangnya kisah satu perjalanan, cerita akhirnya tetaplah pulang."

Pulang adalah perihal harapan. Aku akan pulang dan berteduh di rumah kecil yang kau adalah orang dapurnya. Aku akan pulang dan menanami kebun-kebun rumah kecil itu dengan sayur-sayuran yang kau sukai, juga buah-buahan di halaman belakang. 

Aku akan menghidupkan lampu rumah di sore menjelang waktu malam, menerangi setiap harapan di keningmu yang damai, menghidupkan cinta di matamu yang sunyi, menghibur lelah di garis bibirmu.

Perjalanan adalah tentang usaha menemui kepulangan itu sendiri. Aku jadi tahu itu. Tak banyak memang. Setidak-tidaknya aku tahu, padamu pulang itu aku lakukan. 

Mencintai dengan luar biasa semua warna yang kau punya, menghalangi tiap luka yang menerjang dadamu, menantang tiap duka yang coba menyelimuti matamu. Aku mau menjadi yang paling depan yang membagi suka, menawarkan tawa, meredam risau, juga menyebut mantra-mantra kasih.

Sekali lagi, pulang ada tentang menemukanmu. Setelah berkelahi dengan terjal-terjal perjalanan, onak belukar kisah, dan pahit manis pengalaman. Aku pulang dan hendak nyenyak di dadamu kala lelap datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun