Aku membopong sepotong hatiku semenjak pagi buta untuk menyandarkannya pada relung matamu. Aku biarkan ia terlelap menjadi cinta di sana, di antara bulu mata dan kedipannya.
Aku meneduhkan setiap marah pada senyummu yang melambai-lambai kala siang.
Aku titipkan ia di sana sampai berangsur menjadi kasih.
    Â
Sore hari bulir hujan datang dari langit, membasahi jengkal jalanan dan gedung menjulang.
Aku lihat anak-anak berlari mencari bianglala, tapi rupanya bianglala itu aku lihat pada sekuntum tawamu.
Kala malam tiba memikul gulita, orang-orang menyalakan lampu gempita, sebaliknya aku malah merasa kaulah pelita.
     Â
Begitulah.
Aku mana tahu cinta akan datang sepagi ini, saat mukaku masih kalut.
Aku mana tahu cinta akan seyogia ini, sementara hatiku masih kumuh.
Mana aku tahu juga kau yang akan aku cinta, aku tahu kau hanyalah tanjung yang kerap aku sanjung.
Aku bahkan belum sempat bersiap-siap.
       Â
Cinta itu, ya aku padamu. Tak lain-lain.
   Â
Ambon, 28 Agustus, pagi ini juga