Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudah Bulan Juli, Jangan Mengira Aku Sudah Berhenti Mencintai

2 Juli 2019   05:37 Diperbarui: 2 Juli 2019   05:59 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://weheartit.com

Tahun-tahun silih berganti menggiring usia yang kian menua. Rindu teronggok menumpuk di dapur-dapur perasaan. Sementara cinta di dada masih bergelantungan sebagaimana dahulu. Ia tak termakan oleh rumitnya sebuah perpisahan, atau ganasnya api kecemburuan. Tak pula sinarnya mati mendadak gara-gara angin ketidakpastian yang embusannya teramat kencang. Ia tetap kukuh laksana ngarai, tetap hidup layaknya mata air di jantung hutan belantara: mengalir, murni, dan menyegarkan.
           
Tahun-tahun silih berganti. Aku menyadari sepenuhnya bahwa perpisahan memang rumit dimengerti jika kita masih bersetia menjunjung sebuah pertalian yang disekat jarak bermil-mil jauhnya. Rasa-rasanya janji untuk saling mempercayai sudah begitu usang untuk terus-menerus didendangkan. Rasa-rasanya pula segala yang mati sudah ikut-ikutan menertawai sikap tegar ini. Tempat-tempat penuh kenangan kebersamaan pun jadi seperti mengolok-olok janji kita.
               
Sampai kini aku masih kuat jika harus terus membesarkan sabar dalam penantian yang serba bisu dan tuli ini. Begitulah memang adanya, cintaku ini tak bisa lagi berkata-kata, atau sekadar mendengar suara-suara. Hanya tahun-tahun di kalender yang aku pakai untuk merawatnya. Selain itu, berkas-berkas doa juga ikut aku selipkan dalam penantian yang serba tidak pasti ini: penantian yang oleh para istri nelayan sudah disebut bermuram durja. Tapi aku tak peduli, cinta membuatku lebih percaya daripada meragu. Cintaku tak memaksaku untuk mengerti, sebaliknya cintalah yang memahami pendirianku.
             
Di waktu ini aku melihat rumah-rumah dambaan kita kian tak terawat. Di sana aku jarang pulang, dan kau malah tak pernah pulang. Pantas memang jika hatiku sepanjang tahun dirundung gelisah. Kerap pikiranku bertanya-tanya bagaimana dengan pendirianmu. Apakah masih sebaik dahulu, atau malah ikut reot bersama terpa gelombang waktu yang menghujam di tengah-tengah pusaran perpisahan yang ganas ini. Berat memang berteduh seorang diri saja di posisi yang sebegini ruwetnya. Tapi mau bagaimana lagi, cinta adalah pertanggungjawaban, tak mungkin kemudian jika aku harus lari dan menanggalkan semua kenangan yang selama ini jadi tumpuan untuk tetap meyakinkan diri masing-masing.
           
Bulan Juli sudah tiba, sayang. Betapa aku sungguh terkejut kala tahu dari kalender di dinding kamarku. Tak banyak kata-kata memperingati bulan cinta ini. Hanya aroma amis yang aku dapati. Kau yang pergi begitu jauh, bahkan dari jangkauan kendaraan alam khayalku.
         
Malam-malam sudah berlangsung berlembar-lembar tebalnya dan berlalu jauh. Aku masih suka menegurmu, atau sekadar menyapa di dunia maya. Bertanya perihal kabar, sekolah, kegiatan biasa-biasa sampai sekali-kali merembet pada masalah cinta. Tapi barangkali aku terlalu sial, semua jawabanmu amat singkat: Umm, iya, oke, ooh, baik. Begitulah kau memberi jawab. Aku merasa kau benar-benar sedang membatasi dirimu.
             
Aku kini cukup menyadari. Betapa cinta menuntut kejelasan yang lebih jelas dari cahaya, kebenaran yang lebih benar dari sebenar-benarnya kebenaran. Dan memang benar, aku mencintaimu. Sampai kini. Tak cukup kata untuk menjelaskannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun