Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkapkan asal-usul Salatiga, yaitu yang cerita rakyat, prasasti, dan penelitian dan kajian yang cukup detail. Dari sumber-sumber tersebut Prasasti Plumpungan yang dijadikan dasar asal-usul Kota Salatiga. Berdasarkan prasasti itu, Hari Jadi Kota Salatiga pada ntanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
Prasasti Plumpungan. Cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut prasasti Plumpungan. Berdasarkan Prasasti yang berada di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo itu, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, yang ada pada saat itu merupakan wilayah Perdikan. Sejarahwan yang sekaligus ahli Epigraf Dr. J. G. de Casparis mengalihkan tulisan tersebut secara lengkap yang selanjutnya disempurnakan oleh Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka.
Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swatantra bagi suatu daerah yang ketika itu bernama Hampra, yanng kini bernama Salatiga. Pemberian perdikan tersebut merupakan hal yang istimewa pada masa itu oleh seorang raja dan tidak setiap daerah kekuasaan bisa dijadikan daerah Perdikan, [Lengkapnya, KLIK KANAL IHI]
Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota Salatiga. Salatiga, sejak beberapa tahun terakhir, menurut penilaian SETARA, selalu masuk dalam jajaran kota-kota dengan indeks Kota Toleran 2017. Hal tersebut terjadi bukan saja karena peran lembaga Pendidikan Tinggi, utamanya Universitas Kristen Satya Wacana, namun juga segenap lapisan masyasrakat, termasuk tokoh-tokoh lintas agama dan kepercayaan.
Badan Kerjasama Gereja-gereja SalatigaÂ
Melengkapi interaksi warga Salatiga, yang sejak lama, berlatar multi etnis, agama, bangsa, suku, dan sub-suku, beberapa tahun lalu, umat Kristen atau Gereja-gereja di Salatiga membentuk wadah bersama yang disebut Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga atau BKGS (pada kota-kota lain di Indonesia menggunakan nama Badan Kerjasama Gereja-gereja atau BKSG), untuk ikut memelihara dan merawat Salatiga sebagai salah satu kota tertoleran di Indonesia. Bahkan, BKGS hadir ketika terjadi kekosongan 'peran' pada bidang edukasi umat di sekolah-sekolah dasar atau SD.
Misalnya, Oktober 2018, informasi dari Bimas Kristen Kota Salatiga bahwa tidak tersedianya guru pelajaran Agama Kristen/Kaolik (PAK) di sejumlah sekolah. Untuk mengisi kekosongan itu, Badan Kerjasama Gereja-gereja Salatiga menerjunkan sejumlah tenaga pengajar PAK di sejumlah SD yang tidak ada guru tersebut.
Peran BKGS tersebut bukan saja dilakukan pada intern Gereja-gereja di Salatiga, melainkan juga pada giat dan kegiatan lintas iman; termasuk turut menjaga keamanan perayaan Idul Fitri, serta hari raya keagamaan lainnya.
Sejak tahun 2015, BKGS, melalui Pemuda BKGS Salatiga, menggerakan sejumlah besar anggotanya untuk ikut menjaga keamanan serta kententraman umat ketika merayakan Idul Fitri. Selanjutnya, merupakan agenda tetap. Dalam artian, setiap Idul Fitri, BKGS Salatiga menjadi bagia dari 'Tim Keamanan' pada area yang dipakai untuk melaksanakan Sholat I'ed.
Selain itu, pada Ramadhan 2019, sebelum Idul Fitri, BKGS bekerjasama dengan GMKI melakukan pembagian takjil ke masyarakat di beberapa area di Salatiga. Pada peraayaan Idul Fitri 2019, personil BKGS Salatiga bergabung bersama tim pengamanan di Lapangan Pancasila, Lapangan Korem, dan halaman Ramayana.