Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Orasi dan Narasi Kegaduhan dari Capres/Cawapres

9 Januari 2019   14:18 Diperbarui: 10 Januari 2019   07:06 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua Catatan [Tidak Termasuk Artikel]

Pertama: Politik, (Inggris, politic padanan politeia atau warga kota; Yunani, polis atau kota, negara, negara kota; dan Latin, civitas, artinya kota atau negara; Arab, siyasah) artinya seni atau ilmu mengendalikan manusia, perorangan dan kelompok.

Jadi, secara sederhana, politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai. Makna politik semakin dikembangkan sesuai perkembangan peradaban dan meluasnya wawasan berpikir.

Dalam pengembangan makna, politik bisa berarti kegiatan (rencana, tindakan, kata-kata, perilaku, strategi) yang dilakukan oleh politisi untuk mempengaruhi, memerintah, dan menguasai orang lain atau pun kelompok, sehingga pada diri mereka (yang dikuasai) muncul atau terjadi ikatan, ketaatan dan loyalitas (walaupun, yang sering terjadi adalah ikatan semu; ketaatan semu; dan loyalitas semu). Sumber, Klik

Kedua: Kampanye. Sederhananya, kampanye adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dikampanyekan. Kampanye bisa dan biasa dilakukan oleh/pada berbagai kegiatan; dan utamanya pada proses pemilihan pimpinan (dan pengurus) di pada organisasi tertentu (ormas, keagamaan, kegiatan sekolah, kampus, dan partai politik), dan yang paling umum dilakukan adalah pada kegiatan politik.

Dengan itu, kampanye, bisa terjadi atau dilakukan pada semua bidang, utamanya kegiatan yang bersifat mempengaruhi orang lain untuk memilih seseorang, kelompok, atau hasil produksi tertentu. Demikian juga (yang terjadi) pada Pilpres RI tahun 2019, semua calon presiden dan wakil presiden (akan) melakukan kampanye tertutup (dalam/di ruangan) dan terbuka atau area terbuka yang tanpa batas.

Isi atau muatan dalam/di pada waktu kampanye pun, wajib berisi sejumlah visi, misi, program, janji politik, dan lain sebagainya yang bersifat (upaya) menarik perhatian, mempengaruhi, dan menjadikan orang lain tertarik (dan juga memilih) orang (dan visi, misi, program, dan janji) yang dikampanyekan atau ditawarkan. Itu yang seharusnya. Sumber, Klik

##

Dokumentasi KANAL IHI
Dokumentasi KANAL IHI
Orang Indonesia atau orang-orang di Nusantara yang memiliki tanda kependudukan sebagai WNI, ada karena berbagai alasan, serta memiliki latar yang sangat beragam. Mereka, orang-orang Indonesia tersebut, disebut seperti itu biasanya ada dalam ikatan komunitas sub-suku, suku, etnis, dan menyatu dalam satu kesatuan yang besar yaitu Bangsa Indonesia dan NKRI. Juga, orang-orang di Indonesia sarat dengan kepelbagaian, perbedaan, warna-warni, serta aneka kekayaan unsur-unsur adat dan budaya.     

Orang-orang Indonesia yang penuh kepelbagaian itulah sementara ramai-ramai menuju dan menyambut Pilpres RI tahun 2019. Sehingga, bisa dikatakan, hampir 100 % rakyat RI, ada dalam kehangatan Kampanye Pilpres RI 2019. 

Namun, kampanye Pilpres yang seharusnya merupakan giat dan kegiatan yang menyenangkan, sukacita, menarik perhatian, penuh dengan hal-hal yang bersifat edukasi politik, serta membuat rakyat atau calon pemilih mendapat informasi yang membangun citra serta mengenal lebih jauh tentang Capres/Cawapres, ternyata nyaris tidak ada atau bahkan tak terlihat.

Karena nyaris tidak ada, maka yang terjadi, bukan kehangatan melainkan kemarahan; bukan damai dan perdamaian, melainkan benci serta kebencian; bukan sampaikan data dan fakta, melainkan hoax serta ujar kebencian. Sehingga yang terjadi adalah 'Kampanye Politik Gaduh dan Kegaduhan.'

Maaf, dan maaf maf saja, gaduh dan kegaduhan itu, menurut saya, 100 % datang dari pasangan Capres/Cawapres lawan Jokowi-MA. Bayangkan saja, sejak gong kampanye di tabuh, publik belum pernah secara lengkap mendapat dan mengetahui visi serta misi Prabowo Sandi. 

Tapi, yang mereka terima adalah sejumlah rangkaian orasi dan narasi kontraversial, hoaks, tanpa data, serta tidak sesuai dengan fakta-fakta real di area publik; dan semuanya itu menyatu menjadi satu sebagai gaduh dan kegaduhan.

Dari jejak digital dan ketika ada di antara area kampanye, saya harus jujur bahwa, "Saya tidak dan belum mendapatkan apa-apa dari Prapowo-Sandi agar bisa ditulis sebagai edukasi atau pun opini politik;" termasuk, dari relawan dan para pendukung mereka berdua. Justru yang didapat adalah hal-hal yang sangat, sangat, dan sangat tidak bermanfaat.  

Agaknya pasangan Prabowo Sandi, dan juga para pendukungnya, tidak bisa membedakan antara orasi dan narasi kontraversial (kontra atau berbeda dari versi yang yang sudah ada atau umum) dan hoax serta ujar kebencian; mereka mungkin mengikuti gaya kontraversialnya Donald Trump, tapi salah kaprah.

Prabowo Sandi pada banyak kesempatan memang menyampaikan orasi dan narasi kontroversial, hoaks, dan juga tanpa data serat fakta.

Contohnya tagline "Indonesia First, Make Indonesia Great Again" sangat mirip dengan "America First, Make America Great Again" milik Donald Trump. Pernyataannya soal tidak akan mengimpor dan kritik pedas Prabowo bahwa pemerintah Jokowi lebih condong ke Cina juga dipersepsikan sebagai pilihan politik asosiatif dengan gaya proteksionisme Trump.

Model kampanye Prabowo Sandi, ternyata copas 'tidak sama" dari Trump. Model tersebut sebagai pendekatan propaganda firehose of falsehood, yang memiliki empat karakteristik utama, (i) memanfaatkan kontroversi untuk membanjiri kanal-kanal warga dengan narasi yang dikehendakinya, (ii) pesan yang sama atau serupa diulang secara terus-menerus sehingga persepsi khalayak lama-lama akan terkonstruksi seperti yang dikehendaki, (iii) tidak peduli akurasi dan etika, (iv) tidak konsisten antara narasi di satu kesempatan dan kesempatan berbeda.

[Sedikit catatan tentang orasi dan narasi kegaduhan: tempe setebal atm, ini hoax dan kontraversi; anggota PKI sudah 25 juta di Indonesia, ini hoaks; tampang Boyolali, ini pelecehan; ekonomi RI terpuruk, ini tanpa data dan fakta; utang luar negeri ribuan triliun rupiah lebih banyak dari pengakuan pemerintah, ini hoaks; rakyat semakin susah dan angka kemiskinan makin naik, ini hoaks dan tanpa data; satu selang cuci darah untuk 40 orang, ini hoaks plus asal bunyi; membangun infrastruktur tanpa uang, ini tidak sesuai fakta; pedagang pasar yang mengeluh dan menderita karena dagangannya tidak laku, dan masih banyak lagi].

Orasi dan narasi jenis itulah yang setiap saat muncul dari Prabowo Sandi, bahkan, belakangan muncul lagi kata-kata, "Negara ini akan punah, jika Saya tidak terpilih" atau, "Negara akan kacau, jika saya tidak dipilih;" ini adalah orasi dan narasi yang sungguh-sunguh menakutkan publik. Dengan itu, para calon pemilih yang tanpa pendidikan atau pendidikannya kurang memadai, (akan) menjadi percaya sekaligus takut, karena percaya pada orasi dan narasi gaduh serta kegaduhan dari Prabowo Sandi.

Sayangnya, pihak Jokowi MA pun, tadinya saya bersyukur  bahwa mereka tidak membalas, kini secara pelan dan berangsur, mulain melakukan serang balik terhadap orasi dan narasi kegaduhan dari Prabowo Sandi. Jadinya, kedua kubu telah masuk dalam pertempuran 'orasi dan narasi kegaduhan melawan orasi dan narasi kegaduhan.'

Sama-sama berupaya dan menunjukkan ke hadapan publik bahwa pihaknya yang benar, sebaliknya lawan selalu salah. Efektif kah? Beberapa teman dari pihak Jokowi MA pada intinya mengatakan, "Ini cuma serangan balik, dan bukan gaya kami melawan kejahatan dengan kejahatan." Nah.

Apa pun itu, dari kedua kubu Capres/Cawapres, orasi dan narasi kegaduhan serta serangan baliknya, menurut saya, dua-duanya tidak efektif, walau menurut sejumlah pakar, bisa menguatkan kualitas demokrasi. Namun, menurut saya, bisa  menguatkan demokrasi itu, jika terjadi pada negara-negara yang rakyatnya rata-rata mempunyai tingkat pendidikan diatas SMA/K atau menengah atas. Atau, rakyat yang sudah memiliki kecerdasan politik serta terbiasa dengan perbedaan yang tanpa konflik.

Dengan demikian, politik dan kampanye gaduh serta kegaduhan, pada sikon perpolitikan di Indonesia, bukan sebagai upaya peningkatan mutu demokrasi, melainkan menanam, menumbuhkan, menyuburkan, memelihara, dan mendewasakan perpecahan bangsa. Di sini, jika terjadi, maka setelah Pilpres (atau pun Pilkada dan Pemilu), perpecahan tersebut, (akan) terus-terus menerus ditumbuhkembangkan menjadi gap sosial, sentimen golongan dan idiologi. Paling tidak, kita mempunyai contoh tentang Jokowi vs Prabowo; pendukung keduanya,  sejak tahun 2014, nyaris tidak berubah, dan tetap berseteru.

Oleh sebab itu, kini tahun 2019, saya dan banyak orang sangat mengharapkan setelah pertarungan 17 April 2019, tidak ada lagi pemisahan tersebut. Caranya? Cuma ada satu, yaitu buang orasi dan narasi gaduh serta kegaduhan.

##

Akhir kata, untuk kedua pasangan Capres/Cawapres, asal tahu saja, rakyat sudah muak dengan orasi dan narasi gaduh serta kegaduhan. Jadi, stop lakukan hal tersebut.

Opa Jappy | Pendiri dan Pembina Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun