Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kampanye Bukan Meneror Masyarakat

22 November 2018   09:44 Diperbarui: 22 November 2018   10:05 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini

SUPLEMEN: Dua Catatan Awal, Tidak Termasuk Artikel

Catatan Pertama: Kampanye

Sederhananya, kampanye adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dikampanyekan. Kampanye bisa dan biasa dilakukan oleh/pada berbagai kegiatan; dan utamanya pada proses pemilihan pimpinan (dan pengurus) di pada organisasi tertentu (ormas, keagamaan, kegiatan sekolah, kampus, dan partai politik), dan yang paling umum dilakukan adalah pada kegiatan politik.

Dengan itu, kampanye, bisa terjadi atau dilakukan pada semua bidang, utamanya kegiatan yang bersifat mempengaruhi orang lain untuk memilih seseorang, kelompok, atau hasil produksi tertentu. Demikian juga (yang terjadi) pada Pilpres RI tahun 2019, semua calon presiden dan wakil presiden (akan) melakukan kampanye tertutup (dalam/di ruangan) dan terbuka atau area terbuka yang tanpa batas.

Isi atau muatan dalam/di pada waktu kampanye pun, wajib berisi sejumlah visi, misi, program, janji politik, dan lain sebagainya yang bersifat (upaya) menarik perhatian, mempengaruhi, dan menjadikan orang lain tertarik (dan juga memilih) orang (dan visi, misi, program, dan janji) yang dikampanyekan atau ditawarkan.

Kampanye (terutama di/dalam Perpolitkan Indonesia) bukan penyampaian janji-janji (surga) serta bualan politik; juga bukan berisi 'live musics' teriakan yel-yel, umpatan, bahkan sekedar pengerahan massa bagaikan pasar malam. Kampanye, juga bukan untuk memunculkan pemilih yang memilih (hanya) karena 'emosi politik,' ikut-ikutan, ikuti arus, berdasarkan 'provokasi politik,' dan terbuka kemungkinan 'memilih karena berapa banyak rupiah yang didapat.

Opa Jappy | Sumber KLIK

Catatan Kedua: Teror

Teroris, secara sederhana adalah orang yang melakukan teror. Mereka, bisa datang atau dibentuk dari semua strata sosial dan tingkat pendidikan; serta berbagai alasan. Alasan atau motivasi seseorang menjadi teroris, walau dirinya tak mengakui sebagai teroris, sangat beragam; misalnya alasan idiologis, agama, balas dendam, bahkan kelainan jiwa.

Karena alasan-alasan itulah, maka gerakan atau aksi-aksi mereka, para teroris itu, pun beragam, seiring dengan tingkat dan latar pendidikan serta strata sosialnya. Misalnya, seseorang yang wawasan sosialnya sempit, kurang pendidikan, minim interaksi sosial, yang direkrut menjadi pelaku teror, maka bisa dipastikan, ia akan menjadi eksekutor bom bunuh diri. Namun, jika merekrut seseorang yang pendidikan lumayan, menguasai atau mempunyai pengetahuan lintas ilmu, maka ia bisa dibentuk sebagai operator atau pelaku teror di "belakang layar" dan Dunia Maya.

Sumber: Klik

Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini
Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini
##

Dari Sekitaran Universitas Indonesia, Depok - Jabar | Salah satu unsur yang (sangat) pennting di/dalam Demokrasi adalah Pemilihan Umum (di dalamnya menyangkut pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Anggota Parlemen, Perdana Menteri, serta Presiden dan Wakil Presiden, dan lain sebagainya). Biasanya, sebelum terlaksananya Pemilihan Umum atau 'hari pemilihan' di Ruang Pemilihan, terjadi sekian banyak proses agar Pemilhan Umum tersebut berjalan dengan aman, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Salah satu unsur penting pada/dalam proses Pemilu adalah Kampanye; yang di dalamnya para peserta pemilu, dengan aneka cara dan model, menawarkan diri kepada publik agar memilih mereka sesuai jabatan politik. Dengan demikian, kampanye politik hanya sebagai salah medium antara politisi atau 'Yang akan Dipilih' dan rakyat atau Pemilih;' tidak lebih dari itu. Karena alasan sederhana itu, maka kampanye politik, dengan varian modelanya, merupakan upaya atau cara-cara untuk mempengaruhi orang lain (agar nanti memilih yang berkampanye) dengan cara-cara soft, menarik, natural, eduakatif, membuka wawasan, menyampaikan program, vis, misi, cita-cita dan harapan masa depan, serta penuh dengan bahas yang  bermartabat.

Atas dasar itu, maka kampanye politik bukan merupakan penyampaian orasi dan narasi yang bersifat pesimistis, menakutkan publik, mencela dan mengfitnah lawan politik, bahkan bukan juga menyampaikan ujara kebencian ke/pada golongan, suku, sub-suku, dan agama; kampanye politik bukan merupakan ancaman kepada publik, seperti, "Jika tidak memilih Kandidat ini, maka kalian akan mengalami masalah; Jika kamu tak memilih saya, maka hidup kamu akan hancur," dan lain-lain. Jika terjadi seperti itu, maka bukan kampanye, melainkan teror atau meneror publik (masyarakat calon pemilih).

Melompat pada sikon kekinian, di Negeri Tercinta, Indonesia, sementara terjadi apa yang disebut 'Masa Kampanye;' utamanya adalah perhatian publik terhadap kampanye Pilpres RI yang dilakukan para Calon Presiden dan Wakil Presiden. Masa kampanye ini, menurut banyak rekan-rekan akademisi dan pakar politik, dan saya setuju dengan mereka, bahwa kampanye Pilpres memiliki derajat atau pun kedudukan tertinggi di/dalam cara berkampanye para politisi.

Alasannya, Pilpres merupakan upaya untuk mencapai kedudukan politik eksekutif atau pemerintah di RI, jadi siapa pun yang berkampanye untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, maka ia (mereka) harus memperlihatkan diri 'lebih dan layak dipilih dan terpilih.' Juga, menunjukkan diri sebagai (Calon) Presiden dan Wakil Presiden, jika terpilih, untuk segenap rakyat dan bangsa (elemen-elemen bangsa yang berbeda, seperti suku, sub-suku, agama, golongan, kelas, strata, dan lain sebagainya), dan bukan hanya kelompok tertentu.

Oleh sebab itu, yang terjadi adalah kampanye; sekali lagi, kampanye bukan meneror publik (masyarakat calon pemilih). Sayangnya, sekarang ini, di Negeri Tercinta, kampanye untuk Pilpres yang sejatinya merupakan 'Kampanye dengan derajat dan Kualitas Tertinggi,' dirusak oleh meneror publik atau kampanye yang bersifat teror dan provokatip, minimal teror pikiran, idiologi, dan wawasan, serta penyempitan pandangan dengan data yang salah dan hoaks.

Tidak bisa dibantah kata-kata yang muncul di/pada kampanye, seperti 'bangsa yang buta huruf, kemampuan membaca yang sangat minim, punya ijazah tapi pengangguran, Negara memiliki banyak uang tapi dicuri, kalian adalah wajah-wajah orang susah, Komunis akan berkuasa dan menghancurkan bangsa, bangsa yang kurang berpendidikan, Negara akan hancur, jika saya terpikih, maka .... atau jika saya tidak terpilih, maka .... dan sejenisnya; semuanya itu,  hanya menjadikan rakyat yang mendengar (dan melihat) pesimis dan tak berdaya.

Kata-kata seperti itu, sebetulnya sebagai ungkapan teror kepada rakyat atau meneror publik. Karena publik di bawa ke suatu area 'penyempitan cara pikir' bahwa dirinya sementara atau tetap ada (dan berada) pada sikon tak bisa serta tidak berdaya jika tetap mempertahankan kekuasaan (misalnya pada Petahana). Jadi, jika mau bebas, maka ganti dengan saya (Yang Berkampanye dan Berorasi), karena saya adalag Solusi, bukan yang lain.

Akibatnya, publik yang telah mengalami penyempitan cara pikir tersebut, memilih tanpa pertimbangan akal sehat, terpaksa, dan karena takut dan tertekan secara kejiwaan. Jadi, mereka atau ian memilih bukan karena pertimbangan memilih yang terbaik atau pun sesuai hari nurani, melainkan karena sikon ketakutan, terjepit, tak boleh memilih yang lain; ya memiliha karena teror politik yang ia (mereka) terima sebelumnya.

#

Berdasarkan semuanya itu, maka pada sikon kampanye menuju Pilpres RI pada tahun 2019, sebaiknya para Capres/Cawapres dan Tim Sukses, Tim Pendukung, Tim Relawan, serta Tim Ikut Mensuksekan, kembali memiliki pemahaman bersama dan wajar tentang Kampanye Pilpres. Bahwa,

Kampanye untuk Pilpres memiliki derajat atau pun kedudukan tertinggi di/dalam cara berkampanye para politisi, karena Pilpres merupakan upaya untuk mencapai kedudukan politik tertinggi RI, jadi siapa pun yang berkampanye untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, maka ia (mereka) harus memperlihatkan diri 'lebih dan layak dipilih dan terpilih.'  

Ia harus menunjukkan diri sebagai (Calon) Presiden dan Wakil Presiden, jika terpilih, untuk segenap rakyat dan bangsa (elemen-elemen bangsa yang berbeda, seperti suku, sub-suku, agama, golongan, kelas, strata, dan lain sebagainya), dan bukan hanya kelompok tertentu.

Nah, mampukah?

Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ


Artikel Terkait : Kampanye Tanpa Akal Sehat

Faktanya, para Capres/Cawapres dan Tim Pemenangannya, serta Relawan (bayaran dan sukarela) yang meramaikan suasana, lebih banyak meramaikan area publik dan dan pemberitaan di media (media sosial, pemberitaan, penyiaran, dan cetak). Sayangnya, keramaian tersebut bukan bersifat edukasi politik, tapi upaya-upaya yang bersifat ajakan untuk membenci serta tidak menyukai orang lain. Kasarnya, bersifat tudingan, tuduhan, fitnah, ujar kebencian, dan hoax; termasuk penyampai data yang tidak benar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun