Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Politik

Marginalisasi Terhadap Minoritas

30 Oktober 2013   07:41 Diperbarui: 8 Juni 2020   10:28 6629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marjin [kata bahasa Indonesia] hasil penyerapan kata margin [Inggris]; artinya batas atau pinggir atau tepi; marjinal berarti berhubungan dengan batas atau tepi. Marjinal menunjukkan karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam dimensi budaya ataupun geografis.

Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran dari komunitas atau struktur atau sistem yang di dalamnya seseorang atau kelompok atau sesuatu itu ada atau hidup. 

Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan marjinal.

Marjinalisasi berarti desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran.

Marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya.

Marjinalisasi tidak ada dengan sendirinya, tetapi terbentuk dengan dan melalui perencanaan yang terstruktur serta rapi.

Dilakukan oleh mereka yang berkuasa (dan mempunyai kekuasaan) yang berkolaborasi dengan ‘kelompok-kelompok ideologi - sara yang bisa digunakan sebagai alat penindas-penekan-paksaan.’ 

Kolaborasi tersebut bisa konkrit dan terang-terangan, maupun tak terlihat namun ada. Dan ikatan yang melekatkan-menyatukan kolaborasi itu adalah kepentingan dan keuntungan bersama. 

Sehingga alat atau perangkat yang dipakai untuk melakukan marjinalisasi adalah politik, perencanaan pembangunan dan ekonomi, institusi pendidikan,  organisasi massa, kelompok-kelompok etnis, dan lain sebagainya, termasuk agama serta umat beragama.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Melompat ke sikon kekinian, era SBY ini, sesuai janji kampanyenya, seharusnya bangsa - rakyat Nusantara (minimal) terbebas dari berbagai kesulitan hidup dan kehidupan; serta adanya ikatan kebersamaan sebagai bangsa dan rakyat NKRI. 

Namun apa daya. Harapan itu, telag pupus karena ditenggelamkan sendiri oleh struktur jajaran pemerintah SBY. Di mana-mana, pada banyak tempat, di negeri ini, semakin bermunculan, orang-orang yang merasa bukan Indonesia; tak sedikit yang tidak tahu apakan mereka mempunyai panutan nasional; atau bahkan yang hanya bertahan untuk menanti kapan ada pemimpin baru di negeri ini.

Sikon itu diperparah dengan adanya toleransi serta pembiaran yang sangat tinggi (oleh jajaran pemerintah SBY, dari pusat sampai daerah) terhadap preman-preman berkedok ormas keagamaan; serta membiarkan adanya pusdiklat teroris yang terbungkus rapi melalui ormas keagamaan (yang) radikal. 

Dan juga semakin memperparah, adanya kelompok tanpa bentuk berupa aliansi politis tokoh agama radikal + politisi busuk, yang mengusung ideologi alternatif untuk  mengganti Pancasila dan UUD 45.

Semuanya itu, walau sering dibantah oleh orasi jajaran pemerintah, tetapi realitanya gerakan dan pola membentuk manusia baru - manusia Indonesia yang marjinal terus berlansung dan semakin terang benderang; dan dengan semuanya itu, terpancar dengan sangat jelas adanya  proses marjinalisasi oleh pemerintah SBY.

Dan, proses marjinalisasi oleh pemerintah SBY, yang paling sering terlihat dengan mata adalah melalui (faktor) agama - aliran keagamaan. Sehingga lembaga keagamaan bentuk pemerintah pun, kadang difungsikan sebagai alat penindas. 

Pemerintah SBY, (mungkin) lupa (dan melupakan) bahwa di Nusantara (yang ada NKRI) merupakan bangsa yang majemuk, di dalamnya ada ratusan suku serta sub-suku dengan kemajemukan sosial dan budaya, termasuk agama, aliran, kepercayaan; agama-agama, aliran, kepercayaan tersebut telah ada sebelum NKRI terlahir.

Walaupun, SBY pernah menyatakan bahwa dirinya adalah seorang yang sekuler serta pluralis, namun bertolak belakang dengan jajaran di bawahnya. 

Jajaran pemerintahan SBY, seakan lupa bahwa di/pada bangsa ini bukan saja ada satu agama, dan tak ada agama negara di negeri ini;  dan aliran keagamaan yang lain adalah sesuatu yang salah dan perlu disingkirkan. 

Organisasi agama-agama (keagamaan) dan aliran keagamaan serta kepercayaan yang ada di Nusantara, seharusnya menjadi kekuatan serta penjaga moral bangsa, telah hampir kehilangan kekuatan tersebut. 

Kini, lebih menunjukkan diri sebagai alat pemerintah meminggirkan yang lain; dan itu didiamkan oleh pemerintah SBY (atau bisa saja, memang sengaja membiarkannya!?)

Akibatnya, proses marjinalisasi semakin berlangsung. Proses tersebut dilakukan dengan cara penindasan, pengrusakan, penjarahan, pembakaran terhadap properti umat beragama dan aliran yang tak selaras dengan preman-preman berkedok ormas keagamaan. 

Bahkan, di sana-sini, adanya pembunuhan terhadap kaum minoritas; juga pengusiran serta berbagai tindakan brutal lainnya. Lihatlah kasus-kasus ini:

  • penindasan-kekerasan terhadap Ahmadyiah di Banten, Sulawesi Selatan Madura, NTB; penolakan dan kebrutalan terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan di Bekasi; pembatalan IMB di Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin, Bogor; pemboman di Gereja Bethel Injil Sepenuh di Solo; pengrusakan lokasi ziarah di Tawamangu; penurunan patung Budha di Tg Balai; pengurusan surat izin membangun (IMB) untuk bangunan rumah ibadah bagi kelompok agama yang mayoritas akan jauh lebih mudah (atau mungkin tidak diperlukan surat IMB) dibandingkan dengan kelompok agama minoritas lainnya, yang diharuskan bahkan dipersulit untuk mengurus surat izin membangun rumah ibadah masing-masing
  • dan juga pembiaran-pembiaran terhada berbagai teriakan-teriakan liar oleh berbagai ormas keagmaan yang anti NKRI, menolak Pancasila serta lambang-lambang NKRI lainnya
  • dan masih banyak kasus lain ….. semuanya itu, yang menjadi sasaran adalah agama - aliran (yang) minoritas; catatan statistik mengungkapkan bahwa penganut agama Islam merupakan kelompok agama yang terbesar di Indonesia, kemudian diikuti oleh Kristen (terdiri dari Katolik dan Protestan serta aliran-aliran Kristen lainnya) dan akhirnya kelompok agama Hindu dan Budha
  • komposisi yang tidak berimbang ini telah mendorong terciptanya suatu situasi marjinal pada kelompok penganut agama tertentu, seperti Kristen, Hindu dan Budha; dari persebaran lima agama yang diakui oleh pemerintah (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha), yang tidak merata sering kali menyebabkan munculnya marjinalisasi oleh agama yang mayoritas terhadap agama yang minoritas; apabila satu agama merupakan kelompok mayoritas di dalam masyarakat, dalam aktivitasnya di tengah masyarakat akan lebih mudah dibandingkan dengan aktivitas dari agama yang minoritas
  • pada relasi sosial yang terjadi, apakah di tingkat paling atas atau di tingkat masyarakat kebanyakan, sering kali idiom atau simbol agama (Islam) lebih dominan dan mesti dipakai
  • dalam kebijakan politik pemerintah, sering kali kelompok agama yang dominan lebih banyak diuntungkan dan sebaliknya, kelompok agama yang kecil lebih banyak diabaikan dalam kesetaraan hak dan pengakuan

Dari semua contoh tersebut di atas, rakyat belum pernah mendengar sang presiden dengan tegas berseru (atau bahkan melakukan konprensi pers, seperti ketika pribadinya terusik) agar aparat atau pun jajarannya melakukan tindakan yang tegas; yang memberi peluang kepada minoritas.

Hebatnya lagi, di era sekarang, pemimpin lokal-daerah berani melawan keputusan peradilan dan politik  Nasional; dan ini dibiarkan oleh jajaran SBY. 

Pemerintah ini seakan menutup mata (tidak peduli) terhadap airmata dan tangisan kaum minoritas yang teraniaya, yang darahnya tercurah, dan nyawanya hilang akibat (pembiaran terhadap ulah brutal) preman-preman berlabel agama.

Sikap menutup mata, tidak peduli pembiaran itulah, semakin memperkuat pendapat rakyat kebanyakan (terutama kaum minoritas) bahwa pemerintah SBY telah melakukan marjinalisasi terhadap umat beragama dan aliran keagamaaan yang minoritas.

Dan semakin ke sini, ada banyak menteri pada pemerintahan SBY, yang dengan terang benderang melemparkan isue-isue SARA; misalnya, Menteri Agama, Menteri Kominfo, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kum dan HAM, belum lagi ditingkat Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dan mungkin ada yang lain!?

Secara sadar atau tidak, mereka telah melukai hati rakyat banyak, terutama warga negara yang mengidap tanda-tanda minoritas di dalam dirinya. 

Mereka, para punggawa SBY itu, semakin memperjelas garis dan kebijakan politik koalisi pelangi yang dibangun oleh SBY dan Demokrat.

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun