Kasus di SDN 2 Pasir Tangkil, Kabupaten Lebak, baru-baru ini menjadi sorotan. Wali murid sekolah dasar tersebut berinisiatif membeli meja dan kursi sendiri karena fasilitas belajar yang tidak memadai. Bukannya mendapat apresiasi, mereka justru menerima teguran dari kepala sekolah. Peristiwa ini bukan hanya persoalan sederhana di tingkat sekolah, melainkan cermin dari masalah sistemik yang lebih besar dalam dunia pendidikan kita---khususnya terkait tanggung jawab negara dalam memenuhi hak dasar peserta didik.
Di era saat ini, masih ada siswa yang belajar lesehan di kelas karena tidak tersedianya meja dan kursi. Ini menjadi ironi ketika di saat yang sama, pemerintah daerah bisa menganggarkan miliaran rupiah untuk pembelian sofa dan TV LED. Ketika prioritas anggaran lebih mementingkan kenyamanan pejabat dibanding kebutuhan dasar siswa, maka jelas bahwa ada yang keliru dalam sistem pengelolaan pendidikan kita.
Teguran kepala sekolah kepada wali murid yang berinisiatif justru menunjukkan ketimpangan pemahaman antara realitas di lapangan dan idealisme birokrasi. Apa yang dilakukan orang tua bukan bentuk pembangkangan, tetapi respons terhadap keadaan yang mendesak. Mereka tidak menuntut banyak, hanya ingin anak-anak mereka belajar dengan nyaman dan bermartabat.
Kepala sekolah semestinya menjadi pihak yang memperjuangkan kepentingan murid dan wali, menjadi penghubung antara kebutuhan sekolah dengan pemangku kebijakan. Menghambat partisipasi masyarakat justru merugikan pendidikan itu sendiri. Dalam banyak kasus, kolaborasi antara sekolah dan orang tua merupakan kunci kemajuan sekolah, terutama di daerah yang masih mengalami kekurangan sarana dan prasarana.
Pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan, bukan sekadar formalitas dalam laporan tahunan. Kebutuhan dasar seperti meja, kursi, papan tulis, dan ruang kelas layak adalah fondasi awal dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat. Ketika negara gagal menyediakan itu, dan masyarakat berinisiatif untuk membantu, maka bukan masyarakat yang perlu ditegur---melainkan sistem yang perlu dibenahi.
Esai ini bukan sekadar kritik, tetapi ajakan untuk refleksi bersama: bagaimana mungkin kita menuntut mutu pendidikan, jika hak dasar untuk belajar secara layak saja belum terpenuhi? Sudah saatnya pemangku kebijakan di daerah turun tangan langsung, melihat dan mendengar keluhan di lapangan, bukan hanya melalui laporan. Pendidikan yang berpihak pada rakyat adalah pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar peserta didik tanpa harus bergantung pada swadaya masyarakat.
Penutupnya, mari kita kembalikan esensi pendidikan sebagai hak, bukan beban yang harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Jika meja dan kursi saja tidak bisa disediakan oleh negara, bagaimana dengan mimpi anak-anak tentang masa depan yang lebih baik?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI