Tangisan itu pecah di ruang sidang. Seorang pejabat negara, Kepala Bidang Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan, menangis saat dimintai pertanggungjawaban atas dugaan korupsi anggaran pengelolaan sampah sebesar Rp75,9 juta. Ia memohon untuk dibebaskan, dengan alasan uang itu digunakan untuk kebutuhan makan anak dan istri.
Sebagian publik mungkin iba mendengar alasan itu. Tapi mari kita renungkan lebih dalam: apakah alasan kebutuhan keluarga dapat membenarkan tindakan melawan hukum dan mengkhianati amanat rakyat?
Anggaran pengelolaan sampah bukan hanya angka dalam dokumen APBD. Ia menyangkut hak dasar masyarakat atas lingkungan yang bersih, udara yang sehat, dan sistem kota yang tertata. Uang itu seharusnya digunakan untuk memperbaiki armada pengangkut, membayar honor petugas kebersihan yang sering bekerja di bawah tekanan dan risiko, serta membangun sistem pengelolaan yang lebih ramah lingkungan.
Ketika seorang pejabat mengambil uang itu untuk kepentingan pribadi---betapapun 'manusiawi' alasannya---ia telah mengambil hak kolektif masyarakat. Dalam kasus ini, korupsi bukan hanya soal pencurian uang negara, tapi juga soal pengabaian terhadap tanggung jawab publik dan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi oleh aparatur sipil negara.
Apakah kita sebagai masyarakat harus kehilangan rasa marah hanya karena pelaku korupsi menitikkan air mata? Tentu, kita manusia. Kita bisa memahami kesulitan hidup. Tapi memahami bukan berarti membenarkan. Negara tidak akan pernah maju jika setiap penyimpangan selalu dimaafkan atas dasar belas kasihan.
Kasus ini menjadi refleksi besar bagi kita semua: bahwa korupsi bisa muncul bukan karena kerakusan semata, tapi juga karena hilangnya integritas di tengah kesulitan ekonomi. Sistem pengawasan dan transparansi anggaran menjadi kunci, tapi lebih dari itu, integritas pribadi adalah fondasi yang tak tergantikan.
Saya berharap kasus ini menjadi pelajaran, bukan hanya bagi pejabat lainnya, tapi juga bagi kita sebagai warga negara. Jangan biarkan air mata menghapus tanggung jawab. Dan jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dalam sistem yang membenarkan pelanggaran hanya karena alasan pribadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI