Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan Sulung

25 Juli 2021   22:47 Diperbarui: 26 Juli 2021   00:50 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : id. berita. yahoo.com

     Kupandangi kelebat tubuh ayahku menghilang di pintu depan.  Pria lima puluh lima tahun dengan masa purna tugas yang makin dekat menghitung mundur.  Tubuhnya sudah mulai bungkuk.  Rambut bagian depan sudah habis sama sekali, menyisakan tepian-tepian yang sudah beruban sepenuhnya.  Langkah kakinya tampak ingin cepat, namun aku tahu, rasa nyeri di tulang-tulang dan persendiannya bagaikan jerat kawat yang menjebak rontaan rusa.  Ayahku memang sudah menua.

     Aku ditakdirkan lahir sebagai anak pertama dengan empat orang adikku yang lahir berjarak tidak jauh.  Ayah dan ibuku mempunyai standar yang tinggi pada status pendidikan anak-anaknya.  Sebagai pasangan guru dan bidan desa, orang tuaku tidak mau melihat anak-anaknya sekolah seadanya.  Ketiga adikku bahkan disekolahkan di boarding school yang iuran bulanannya saja setara dengan setengah gaji ayah  bergolongan Pembina Utama.  Bayangkan jika tiga.  Ayah benar-benar serius tentang hal itu.

     Sebagai anak pertama, aku berhasil menyelesaikan kuliahku di sebuah perguruan tinggi negeri di provinsi yang berbeda dengan tempat tinggal kami.  Berjarak tujuh ratus kilometer dari rumah dengan kultur yang sedikit berbeda, menjadikan aku pribadi yang cukup mandiri.  Lulus dengan lumayan cepat dan IPK diatas tiga koma lima dari jurusan sains ternyata tidak membuat aku otomatis mudah mendapatkan pekerjaan.  Beberapa kali mecoba seleksi masuk ASN, bersaing dengan jutaan peserta dan gagal semua.  Sampai akhirnya datanglah sebuah kesempatan kerja di luar pulau.

     Dengan sukacita ayah mendorongku untuk menerima tawaran itu.  Dipersiapkannya tiket pesawat, segala rupa dan perbekalan.  Gaji yang aku terima cukup besar, tiga kali gaji ayahku belum termasuk bonus dan tunjangan.  Aku mendapatkan kendaraan operasional sendiri dan tinggal di mess yang layak.  Hanya satu yang terasa berat buatku saat itu, di sana tidak ada masjid dan rekan-rekan kerjaku kebanyakan berasal dari berbagai kultur dan agama yang berbeda.  Itu semua membuatku kesulitan menunaikan ibadah dan menerima tekanan.  Meski tidak sampai kekerasan fisik, namun rasa terasing, terkucil dan tertekan memang muncul dan menguasai diriku.  Semakin besar sehingga membuatku mundur dari kontrak kerja, pulang sebelum waktunya dan membiarkan ayahku menanggung denda ke perusahaan sebesar lima puluh juta rupiah jika ingin menebus ijazah sarjanaku yang asli.

     Ayah memang sering menangis dan bersedih saat melepasku jauh di luar pulau.  Ayah selalu memikirkan keselamatanku di sana.  Namun sekarang setelah sulungnya pulang dengan tangan hampa, gurat kesedihan ayah malah makin terlihat jelas.  Meski tak terkatakan, namun aku bisa merasakan kegalauannya.  Aku menyesal karena pulang, setelah sampai ke rumah.  Seharusnya aku bertahan lebih kuat lagi di sana.  Kadang aku tidak tahu, mengapa saat itu aku begitu cengeng dan rapuh.

     Aku bisa merasakan kondisi keuangan ayah dan ibuku yang sangat kering.  Kuseret langkahku ke kios pupuk di perempatan jalan dekat rumah kami.  Sebelum bekerja keluar pulau, aku menunggui kios dan berdagang pupuk serta obat-obat pertanian.  Dengan kondisi perlemahan ekonomi seperti sekarang, musibah dan perubahan iklim yang menggempur lahan-lahan pertanian, maka kegagalan panen dan tanam terjadi di mana-mana.  Omzet kiosku juga jadi tidak seberapa.

     Dengan lesu, kupasang beberapa display marketing dan spanduk.  Pagi itu masih menyisakan dingin.  Tiba-tiba aku mendengar sebuah keributan dari jalan besar.  Rupanya ada peristiwa.  Aku tidak tahu namun beberapa teriakan bersahutan.  Nampak suara banyak mobil dengan sirine kencang dan motor-motor bermesin bising.  Kulihat seorang ibu yang sedang mengendarai sepeda motor, tertatih seperti mau jatuh.  Dia membawa keranjang belanjaan yang cukup banyak.  Beberapa kali kudengar desingan peluru, sepertinya ada kejar-kejaran antara beberapa kelompok bertikai di desaku.  Refleks kuraih tubuh ibu tadi, aku ingat ibuku.  Kutarik dia ke pinggir jalan dan kupasang badanku untuk melindunginya.  Sesaat kemudian aku merasakan sebuah aliran hangat di leherku.  Kuusap dan kulihat, warnanya merah.  Ini darah, tapi punya siapa?  Sedetik kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.  Tak lama dari atas sambil melayang ringan aku melihat ayahku yang menangis meraung mendekap tubuhku dengan sebuah luka tembak di kepala.  Kuusap punggung ayahku, aku meminta maaf. Namun dia seperti tidak melihat atau mendengar apapun yang kuucapkan. 

"Gemma, ayah tidak apa-apa nak, bukan pulang seperti ini yang kamu mau kan?" isaknya pilu. 

"Oh ayah, andai kau bisa mendengarku saat ini," gumamku. 

"Iya ayah, kepulangan seperti ini yang aku mau.  Maafkan aku anak sulungmu yang tidak berguna ini," kataku sendu sambil menjauh, mengabur serupa asap tertiup angin.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun