Rasa tersiksa karena menahan kencing di celana sudah aku rasakan sejak dua pemberhentian sebelum perjalanan. Â Bus tidak mau berhenti karena katanya tanggung dan sopirnya sepertinya punya kencan di area peristirahatan itu. Â Sambil mengomel dan merutuk panjang pendek dalam hati, sekaligus tetap jaga wibawa, aku berusaha supaya tidak kebobolan. Â Malu kalau sampai keluar duluan dan basah. Â Terlebih tidak sehelai pun kubawa pakaian dan celana ganti.
Akhirnya bus memasuki area peristirahat. Â "Silahkan Bapak dan Ibu, yang mau buang hajat besar atau kecil, toilet di sebelah Utara dan musolanya di Barat. Â Air banyak dan kita akan berhenti lama di sini, jadi jangan kuatir ketinggalan," kata pemandu perjalanan.
"Ih, buka cepet pintunya, kebelet tahu!" desakku akhirnya tidak tahan.Â
"Silahkan Pak, jangan lupa periksa barang bawaan anda sebelum meninggalkan tempat duduk...", lanjut sang pemandu wisata, tapi aku sudah tidak sudi menggubrisnya.
 Panggilan alam yang dahsyat itu akhirnya membawaku lebih dahulu ke toilet yang masih kosong antrian.  Segera kutunaikan keperluanku.  "Ahhh....", desahku sungguh lega.  Dilanjutkan dengan membuang yang lain, mencuci perabotannya dan bersih-bersih.  Setelah rapi, keluarlah aku dengan tenang menghampiri kaca toilet dan memperbaiki penampilanku.  Sesaat kubuat gerakan merapikan kemeja dengan membuka separuh resleting celana dan menurunkannya sedikit.Â
"Eh, Bapak ngapain disini? Â Ini buat ibu-ibu..."lengking sebuah suara cempreng.
"Eh, Oh..." sahutku gugup dan segera menutup resleting celana.
"Bapak nyasar, ini toilet Ibu-Ibu, " sambung suara yang lain diiringi cekikikan lirih.
Tak mau kalah, aku pun menunjuk bagian bawahku sambil berkata, "Ibu, jangan gitu dong! Ini juga buat ibu-ibu," kataku jahil. Â Tak lama kemudian sebuah tabokan yang cukup keras mendarat di pundak dan punggungku. Â Aku segera berbalik dan mengambil langkah seribu.