Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semesta Cahaya Papa

18 April 2021   22:27 Diperbarui: 18 April 2021   23:10 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ah, Mama.  Harus dengan cara apa aku mengatakan yang sebenarnya.  Walau akhirnya Mama menerima, namun ia menuntut satu saja potongan jasad pria yang dicintainya sepenuh hati itu ditemukan.  Dan di sinilah aku selama sepuluh hari.  Mencoba mengais harapan menunggu kabar dari tim pencari yang hilir mudik. 

Aku merenung usai tahiyat akhir dan salam.  Kurenungi pesan yang masuk baru saja dari akun Papa.  Apakah benar Papa yang mengetiknya?  Rasanya tidak mungkin.  Di atas sana tidak ada sinyal sama sekali.  Kuraih gawaiku dan kuperiksa kotak masuk.  Pesannya sudah hilang.  Apakah tadi itu mimpi?  Mengapa jelas sekali?  Aku tidak berani mengabarkan ini pada tim pencari.  Bisa-bisa mereka bingung meski di tempat seperti ini kejadian halusinasi sudah sangat sering terjadi.  Suasana seperti berada di alam perbatasan.  Antara ada dan tiada, antara fiksi dan nyata, antara kehidupan dan kematian. 

Selintas kucium aroma jengkol.  Jengkol yang direbus sebelum dibuat semur.  Makanan kesukaan Papaku yang selalu diburunya sepanjang hidup.  Di tengah hutan belantara begini siapa yang mau mengolah jengkol?  Aku jelas sedang berhalusinasi.  Tapi baunya kuat sekali dan semakin kuat menusuk-nusuk hidungku.  Dini hari dan sebentar lagi tim pencari pertama untuk hari itu akan diberangkatkan.  Aku harus ikut.  Aku tahu apa yang harus kulakukan.

 "Pak Stephen, siap?" Tanya seorang petugas kepala regu kepadaku.  Kujawab dengan anggukan kepala dan ekspresi yang tidak menentu.  

Beberapa saat lalu aku sudah menandatangani surat pernyataan siap menerima kejadian apapun dan tidak akan menuntut pihak tim pencari jika ternyata ada sesuatu yang terjadi denganku di atas sana.  Aku berangkat dan berjalan perlahan dan berada di baris tengah rombongan.  Bau jengkol itu semakin menusuk bahkan saat kami semakin menaiki gunung menuju spot pencarian.  Sempat kutanyakan pada rekan-rekan seperjalananku, apakah mereka menciumnya, namun tidak satupun.  Mereka menanyakan padaku daerah yang harus kami sisir di area pencarian itu.  Aroma jengkol itu seolah menuntunku.  Papa.

Menjelang tengah hari, kami masih mencari.  Tim dengan sabar mengikuti langkah kakiku.  Aroma itu semakin kuat dan wajah Papaku yang humoris terbayang semakin jelas.  "Ke sebelah sini, Pak," pintaku sambil menyibak sebatang rumpun keladi.  "Awas tebing jurang, Pak.  Biar kami dulu," kata Kepala Regu memperingatkanku.  Rumpun keladi ungu yang tersibak menyeruakkan sebuah pemandangan yang memilukan.  Aku segera mengenali potongan bercelana biru tua yang tergolek dan cabikan kemeja berwarna garis-garis abu yang terserak tidak jauh dari situ.

Aku tercekat, inilah kaki yang sangat aku kenali selama ini.  Kaki yang rela melangkah ratusan bahkan jutaan kilometer sepanjang hidupnya, untuk sesuap makanan, selembar pakaian dan kehidupan layak buat anak-anaknya. Buat aku.  Ini kaki Papa.  Sejenak pandanganku tertutup oleh air mata, aku terisak.  Pundakku terguncang, aku terlolong menahan nyeri.  Merasakan penderitaan Papaku berhari-hari di atas gunung ini.  Tim penyelamat mengerumuni dan memelukku , mengucapkan belasungkawa dan menguatkanku untuk tidak semakin hanyut dalam kesedihan. 

Wajah Papaku sekilas tertancap dengan jelas di mataku.  Semilir angin sejuk membelai wajahku seketika.  Aroma jengkol itu sudah tidak ada.  Kubungkus potongan jasad Papa dengan kantong dan kupanggul sendiri.  Senyumnya membayang.  Suaranya begitu jelas berbisik di telingaku ditengah keriuhan tonggeret sekaligus kesunyian aneh di alam gunung angker.  "Bawa Papa pulang, Step.  Terimakasih sudah mau jemput."

"Papa, Step mencintaimu.  Tenanglah engkau, terang serta lapang kuburmu.  Damai sekarang ya Pa," aku terisak sendu. 

Tamat

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun