Ah, Mama. Â Harus dengan cara apa aku mengatakan yang sebenarnya. Â Walau akhirnya Mama menerima, namun ia menuntut satu saja potongan jasad pria yang dicintainya sepenuh hati itu ditemukan. Â Dan di sinilah aku selama sepuluh hari. Â Mencoba mengais harapan menunggu kabar dari tim pencari yang hilir mudik.Â
Aku merenung usai tahiyat akhir dan salam. Â Kurenungi pesan yang masuk baru saja dari akun Papa. Â Apakah benar Papa yang mengetiknya? Â Rasanya tidak mungkin. Â Di atas sana tidak ada sinyal sama sekali. Â Kuraih gawaiku dan kuperiksa kotak masuk. Â Pesannya sudah hilang. Â Apakah tadi itu mimpi? Â Mengapa jelas sekali? Â Aku tidak berani mengabarkan ini pada tim pencari. Â Bisa-bisa mereka bingung meski di tempat seperti ini kejadian halusinasi sudah sangat sering terjadi. Â Suasana seperti berada di alam perbatasan. Â Antara ada dan tiada, antara fiksi dan nyata, antara kehidupan dan kematian.Â
Selintas kucium aroma jengkol. Â Jengkol yang direbus sebelum dibuat semur. Â Makanan kesukaan Papaku yang selalu diburunya sepanjang hidup. Â Di tengah hutan belantara begini siapa yang mau mengolah jengkol? Â Aku jelas sedang berhalusinasi. Â Tapi baunya kuat sekali dan semakin kuat menusuk-nusuk hidungku. Â Dini hari dan sebentar lagi tim pencari pertama untuk hari itu akan diberangkatkan. Â Aku harus ikut. Â Aku tahu apa yang harus kulakukan.
 "Pak Stephen, siap?" Tanya seorang petugas kepala regu kepadaku.  Kujawab dengan anggukan kepala dan ekspresi yang tidak menentu. Â
Beberapa saat lalu aku sudah menandatangani surat pernyataan siap menerima kejadian apapun dan tidak akan menuntut pihak tim pencari jika ternyata ada sesuatu yang terjadi denganku di atas sana. Â Aku berangkat dan berjalan perlahan dan berada di baris tengah rombongan. Â Bau jengkol itu semakin menusuk bahkan saat kami semakin menaiki gunung menuju spot pencarian. Â Sempat kutanyakan pada rekan-rekan seperjalananku, apakah mereka menciumnya, namun tidak satupun. Â Mereka menanyakan padaku daerah yang harus kami sisir di area pencarian itu. Â Aroma jengkol itu seolah menuntunku. Â Papa.
Menjelang tengah hari, kami masih mencari. Â Tim dengan sabar mengikuti langkah kakiku. Â Aroma itu semakin kuat dan wajah Papaku yang humoris terbayang semakin jelas. Â "Ke sebelah sini, Pak," pintaku sambil menyibak sebatang rumpun keladi. Â "Awas tebing jurang, Pak. Â Biar kami dulu," kata Kepala Regu memperingatkanku. Â Rumpun keladi ungu yang tersibak menyeruakkan sebuah pemandangan yang memilukan. Â Aku segera mengenali potongan bercelana biru tua yang tergolek dan cabikan kemeja berwarna garis-garis abu yang terserak tidak jauh dari situ.
Aku tercekat, inilah kaki yang sangat aku kenali selama ini. Â Kaki yang rela melangkah ratusan bahkan jutaan kilometer sepanjang hidupnya, untuk sesuap makanan, selembar pakaian dan kehidupan layak buat anak-anaknya. Buat aku. Â Ini kaki Papa. Â Sejenak pandanganku tertutup oleh air mata, aku terisak. Â Pundakku terguncang, aku terlolong menahan nyeri. Â Merasakan penderitaan Papaku berhari-hari di atas gunung ini. Â Tim penyelamat mengerumuni dan memelukku , mengucapkan belasungkawa dan menguatkanku untuk tidak semakin hanyut dalam kesedihan.Â
Wajah Papaku sekilas tertancap dengan jelas di mataku. Â Semilir angin sejuk membelai wajahku seketika. Â Aroma jengkol itu sudah tidak ada. Â Kubungkus potongan jasad Papa dengan kantong dan kupanggul sendiri. Â Senyumnya membayang. Â Suaranya begitu jelas berbisik di telingaku ditengah keriuhan tonggeret sekaligus kesunyian aneh di alam gunung angker. Â "Bawa Papa pulang, Step. Â Terimakasih sudah mau jemput."
"Papa, Step mencintaimu. Â Tenanglah engkau, terang serta lapang kuburmu. Â Damai sekarang ya Pa," aku terisak sendu.Â
Tamat
 Â