Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengenang Mendiang

17 April 2021   21:24 Diperbarui: 17 April 2021   22:24 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : wallpaperlist.com

Sore yang kelabu, dengan hawa dingin dan rintik hujan.  Kukemas bekas-bekas pakaian dan beberapa peninggalan sakaratul maut suamiku baru saja.

"Bu, sebaiknya ibu segera test dan isolasi.  Benda-benda almarhum ditinggal saja.  Akan dimusnahkan karena diduga sudah terkontaminasi Covid," kata seorang perawat dalam balutan hazmat yang mengerikan. 

"Biar, suster.  Saya juga mau virusnya.  Sama sekali tidak berbahaya karena virus seperti motor yang akan mengantarkan saya ke tempat tujuan, yaitu tempat suami saya sekarang berada,"ceracauku.  Kedengaran seperti suara dari dalam lembah kesedihan. Depresif. Meliuk seperti asap daun-daun kering yang terbakar saat kemarau panjang.  "Kau sudah meninggalkanku" , gumamku pelan.  "Cepat sekali," ratapku lagi.

     Aku sudah pernah merawatmu selama delapan puluh hari.  Kau hernia akut, tapi perjuanganmu merebut kehidupan masih aku kenang.  Dalam seringai kesakitan, kau selalu berkata, maut tidak lebih dari sebuah permainan petak umpet.  Kau cukup tahu cara bersembunyi darinya.  Tempat yang gelap, karena kulit hitammu tak pernah membuat maut berhasil mengenali.  Saat itu aku tertawa mendengarnya.   "Tenang, mah.  Kita akan tetap bertiga,"katamu.  Aku ingat, kau sembuh dan bangkit dengan energi baru yang tak pernah kusaksikan sebelumnya.  Delapan puluh hari bermain petak umpet dengan sang ajal, dan strategi yang kau ceritakan padaku berhasil dengan baik.

     Tapi mengapa kini, hanya dua hari saja kau sudah kalah?  Tampil dengan senjata apa, ajal yang baru saja menjemputmu?  Pasti jenisnya berbeda dengan yang dahulu pernah hampir membawamu pergi dari sisiku.  Terus aku bagaimana?  Siapa yang akan mengantarku ke sekolah? Anak gadis kita satu-satunya bagaimana? Umurnya baru sembilan tahun. Aku dahulu bertaruh nyawa membawakan dia ke dunia buatmu.  Mengapa sekarang kau tinggalkan aku?

     Sore terseret menjadi malam yang semakin tua.  Kupandangi hiruk pikuk pemakaman dan tetamu yang berbelasungkawa.  Mereka menduga kami sekeluarga suspect, tapi siapa yang mau peduli?  Dunia tetap berkerumun, berdagang dan bepergian.  Begitupun diriku.

     Baju-baju kotormu, bekas-bekas di tempat tidur dan beberapa benda yang terakhir kau lemparkan ke sudut ruangan.  Dompet, kunci motor, SIM dan STNK, jaket, helm dan sarung.  Semua tidak kukeluarkan.  Biar aku pengap dan tersekap dalam aroma kehadiranmu selamanya.  Tak kuhiraukan sedikitpun upaya para Petugas Kesehatan untuk mensterilkan lingkungan kami.  Aku ada di dalam dan aku menghirup udara yang berisi benda-benda bervirus bersama mendiang suamiku. 

      Sampai keesokan harinya, indera penciuman telah meninggalkanku lebih dahulu sebelum jasad.  Tak lama kemudian, saluran udara yang melewati paru-paruku terasa sempit.  Nyeri, seperti menghirup jarum-jarum pentul.  Dulu kau begitu sabar mengumpulkannya dari kerudungku yang kulempar sembarangan ke seluruh penjuru rumah.  Tak lama kemudian sekujur tubuh dan dadaku mulai terasa dingin.  Aku demam.  Aku sepertinya tidak akan lama lagi menjejak tanah dengan dua kaki.  Seperti ini rasanya kedatangan ajal.

     Dalam posisiku yang sudah horizontal, satu-satunya yang masih belum pergi adalah indera pendengaranku.  Aku mendengar jeritan orangtuaku, anak gadisku yang tersedu dan sirine ambulans.  Setelah itu aku melihat wajah suamiku yang tersenyum jahil sambil memegang sebuah sisir.  "Sini kusisir rambutmu.  Supaya rapi dan cantik saat berjalan bersama menembus batas lorong itu," katanya sambil menunjuk ke arah sebuah silinder gelap, panjang dan berputar dengan setitik cahaya jauh di ujung sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun