Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gugat Kesumat

11 April 2021   23:04 Diperbarui: 11 April 2021   23:08 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : republika.com

     Namun meski tidak terlalu mendalami prosesnya, karena sibuk mengejar ambisi, kulihat istriku cukup sabar menghadapinya.  Dia berusaha mencoba berbagai pengobatan dan akhirnya pada tahun ke sebelas, kami memiliki seorang anak.  Aku saat itu hanya berbahagia secukupnya saja.  Meski kuakui dalam hati, aku merasakan hal yang agak janggal.  Namun kucoba kutepiskan perasaan aneh itu dan menyaksikan pertumbuhan anakku yang sama sekali tidak mirip dengan diriku.

***

     Setiap musim pada akhirnya akan menemui ujungnya masing-masing.  Begitu pula dengan musim kejayaanku.  Selama empat periode aku menjabat di berbagai sekolah tambang uang dengan setoran cukup deras kepada para pejabat dinas.  Berbagai praktik melanggengkan masa jabatan telah kulakukan, hingga aku lolos dalam kategori sebagian kecil Kepala Sekolah yang menerima perpanjangan waktu.  Katanya hal itu diukur dari prestasi dan kinerja.  Namun semua itu omong kosong.  Aku tahu persis posisi uang sebagai alat tukar segala sesuatu termasuk jabatan.

     Musim kejayaanku berakhir dengan rasa nyeri yang tiba-tiba berdentam setiap malam di dada kiriku.  Aku mencoba tidak memperdulikannya, hingga akhirnya pagi hari yang sibuk membuatku terpeleset di toilet sekolah dan aku harus dipapah di bawah tatapan puluhan guru yang mengantarku memasuki ambulans.  Beberapa hari kemudian, aku menjalani operasi pembukaan penyumbatan arteri yang ternyata sudah lama mengancam nyawaku.  Dokter menyarankan aku untuk tidak melakukan ini dan itu, tidak makan ini atau itu, dan banyak beristirahat di rumah. 

     Kondisi kesehatanku perlahan mulai pulih, dan kebersamaanku yang mulai dekat di rumah membuatku kembali merindukan istriku.  Aku mencoba merajut kembali kehangatan perapian cinta di tungku yang telah lama kubiarkan padam.  Istriku seperti biasa menyambutku dengan gembira.  Dia layak bahagia karena aku selalu menyetorkan banyak uang kepadanya setiap bulan.  Dia tidak jauh dari perilaku para pejabat dinas  yang aku kenal.  Suka uang dan selalu haus setoran.

     Aku menduga, penyakit keparat ini telah membawaku pada disfungsi ereksi.  Beberapa gangguan motorik yang membuatku tidak mampu berjalan tanpa alat bantu.  Aku mulai merasakan penurunan pada setiap aspek dan memerlukan bantuan anak tunggalku untuk berbagai hal.  Namun semakin lama aku merasakan hal yang tidak enak.  Aku seperti seekor induk angsa yang menyimpan anak bebek di sarangnya.  Anak ini sama sekali tidak mirip diriku.

     Pada puncak rasa penasaranku, aku menyempatkan diri mampir ke poli obgyn sepulang dari menjalani fisioterapi.  Aku ingin mengobati disfungsi ereksiku yang semakin lama membuat harga diriku terganggu.  Meski istriku mengatakan dia baik-baik saja dan tidak akan berpaling, namun ada bayak hal yang tak terkatakan yang harus kucari jawabannya.  Jadi kuputuskan untuk menemui dokter spesialis kandungan saat itu.

     Dokter menghendaki sampel spermaku dan mengambilnya melalui sebuah prosedur operasi kecil tanpa jahitan.  Dia menyuruhku datang kembali keesokan harinya pada jam praktik yang sudah ditentukannya. Setelah berbasa-basi, akhirnya dokter menyampaikan penyebab penyakitku.  Selain karena faktor penyakit jantung dan stroke yang kuderita, aku bagaikan disambar petir saat membuka amplop pemeriksaan laboratorium terhadap cairan semenku. 

"Bapak adalah seorang azoospermia, dalam cairan semen Bapak tidak ditemukan satupun sel sperma yang hidup, jadi penyakit Bapak ini....bla...bla," dokter melanjutkan penjelasannya.

Jadi anak yang diam dan besar di rumahku itu anak siapa?  Dengan siapa istriku melakukan pekerjaan ini?  Sungguh kepalaku berdenyut-denyut, tangisanku hampir bobol dan dadaku terasa makin sesak.  Dengan langkah terhuyung kukemas perjalananku pulang ke rumah.

     Berperang dengan batinku setiap malam sejak saat itu dan merasakan kematian perlahan merambat dari ujung kakiku.  Aku memutuskan untuk tidak bicara apapun pada siapapun tentang keadaan ini.  Kubiarkan diriku mengejek diriku sendiri setiap bercermin.  Nyeri di dadaku dan tangisanku yang mengkristal dalam diam bisa jadi merupakan karma dari siapa saja yang pernah kubentak-bentak dan kupermalukan di masa lampau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun