Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gugat Kesumat

11 April 2021   23:04 Diperbarui: 11 April 2021   23:08 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : republika.com

Malam  telah hampir sampai pada penghujung sepertiganya.  Udara dingin yang sangat kukenal dan kesunyian yang  mencekam.  Di sini aku, membebat dada kiriku yang terasa sangat nyeri.  Paska empat puluh hari operasi by pass pada jantungku, aku memutuskan untuk kembali merokok.  Dalam nikotin, aku  merasakan kedamaian.

Esok, mungkin aku masih bisa melihat terbitnya fajar.  Cahayanya yang keemasan lembut menyentuh pucuk-pucuk dedaunan yang masih berselimut embun.  Aroma petrikor dari hujan semalam dan sayup-sayup suara denting perabotan di dapurku.  Setelah itu, akan ada suara gesekan langkah kaki sandal istriku, aroma teh melati dan beberapa wangi bahan makanan yang dimasak.  Tak lama kemudian, suaranya yang lirih namun mencengkeram akan terdengar menyuruhku menghabiskan sarapan.  Setiap pagi seharusnya penuh semangat, dan aku juga belum terlalu tua.  Namun setelah malapetaka itu, segalanya tak akan pernah lagi sama.

Masa pensiunku sebagai pegawai negeri masih tiga tahun lagi.  Jabatanku sebagai seorang Kepala Sekolah juga masih tersisa cukup banyak.  Ragaku masih ada, nafasku meski berat masih berhembus, namun rasanya Tuhan telah mengambil nyawaku secara tidak resmi.  Tanpa kata-katapun, orang yang melihatku sudah akan mengetahui bahwa aku hanyalah sepotong bangkai hidup yang tengah menghabiskan jatah pembalasan dosaku di dunia, untuk selanjutnya dikemas dan ditimbun dengan tanah sedalam-dalamnya.  Aku dan keadaanku, seperti sesuatu yang melegakan dan membahagiakan bagi mereka yang dahulu pernah kusakiti.

*****

Terlahir sebagai anak keluarga terkaya di desaku, aku sangat tidak terbiasa dengan kekurangan, apapun bentuknya.  Meskipun ayahku akhirnya menyuguhkan perjalanan rumah tangganya yang selalu babak belur dengan beberapa istri yang selalu berganti, nampaknya gen egois dan galak memang menurun dengan deras ke dalam aliran darahku. 

Aku memang terkenal sebagai orang yang tidak mau berhenti sebelum mendapatkan apa yang aku inginkan.  Menjadi seorang guru Matematika  adalah sebuah kecelakaan sejarah.  Sejak masih Sekolah Menengah Atas, aku sudah mempersiapkan diri untuk masuk Akademi Militer.  Aku bermimpi menjadi seorang tentara berpangkat tinggi dan memiliki pengaruh tingkat negara.  Saat itu aku diterima, namun akhirnya aku harus menyerah pada tiga bulan pertama masa orientasi. 

Kebuntuan negosiasi keuangan, biaya-biaya tak kasat mata untuk memotong kompas karir pendidikan dan ketidakmampuan kekuatan fisik menjadi alasannya. Tidak ada satupun orangtuaku yang mau bertanggung jawab.  Tidak ayahku yang sedang sibuk mengurus istri barunya, maupun ibu kandungku yang menghamba pada suaminya.  Aku merasa dendam, pulang kembali dengan amarah yang menyala dan harga diri yang terluka.

Aku akhirnya bekerja di sekolah menengah almamaterku dahulu.  Pertama masuk sebagai tenaga tata usaha.  Aku harus menerima kenyataan menjadi seorang pegawai honorer bergaji amit-amit dan setiap hari disuruh-suruh oleh para guru.  Mereka sepertinya memang congkak aslinya.  Semua orang disamakan dengan murid-muridnya.  Aku bekerja dengan rasa dendam, karena ulah mereka yang menganggapku tidak lebih dari seorang tenaga serba guna.

"Coba mana itu, koran hari ini?  Antar ke meja saya!, " bentak seorang guru yang rumahnya bertetangga denganku.  Aku tahu gubuk reyotnya yang berukuran hanya sebesar teras depan rumahku.  Telingaku memerah dan hatiku membara. 

"Jangan lupa isi ceret minum, Pak.  Terus itu kenapa toilet ibu-ibu kotor? Saya mau pakai," sambung salah satu ibu guru sambil monyong-monyong karena mulutnya kepenuhan cireng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun