Mohon tunggu...
Onrizal
Onrizal Mohon Tunggu... -

Forest ecology. Untuk bumi lebih baik (onrizal03[at]yahoo.com; onrizal.wordpress.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ketika mangrove mulai pulih, masyarakat nelayan tersenyum kembali

28 Agustus 2010   02:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:39 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ketika mangrove mulai pulih, masyarakat nelayan tersenyum kembali

 

Keprihatinan akan semakin sulitnya nelayan dalam menangkap ikan, udang, kepiting dan hasil perikanan pantai lainnya di sekitar hutan mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SM KGLTL), Sumatera Utara sejak satu dekade yang lalu menjadi awal dari story ini. Ketika industri arang kayu mangrove banyak tersebar di daerah pantai Langkat tahun 1990-an, kondisi hutan mangrove, baik di dalam maupun di luar kawasan SM KGLTL semakin menurun.

Hasil penelitian penulis tahun 2002 yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) Depdiknas menunjukkan bahwa sangat sulit mendapatkan pohon mangrove yang berukuran diameter di atas 5 cm. Mengapa demikian? Industri arang kayu bakau sangat menyukai bahan baku dari pohon kelompok Rhizophora (bakau) dan Bruguiera (tancang dan mata buaya) berdiamater 5 cm untuk dibuat arang karena menghasilkan arang bermutu baik dibandingkan pohon berdiamater lebih dari 5 cm. Sementara kayu dari jenis lain, misalnya kelompok Xylocarpus (nyiri), Avicennia (api-api), Sonneratia (berembang) digunakan sebagai bahan bakar tungku industri arang tersebut.

Kondisi ini terekam dengan baik dalam penelitian spasial menggunakan citra satelit yang membandingkan kondisi penutupan lahan tahun 1989 dengan 2004 (Siahaan, 2006). Berdasarkan hasil penelitian spasial tersebut diketahui bahwa proporsi hutan mangrove primer sebesar 82,24% tahun 1989 menurun jauh sehingga hanya tersisa 18,02% pada tahun 2004 atau berkurang sebesar 64,27% dalam kurun waktu 15 tahun, sedangkan hutan mangrove sekunder meningkat tajam dari 4,91% tahun 1989 menjadi 58,95% tahun 2004 atau meningkat sebesar 54,04% dalam periode yang sama. Selain itu, luasan tambak, permukiman, lahan kosong dan badan air juga meningkat selama periode tersebut.

Dalam kurun waktu tersebut penebangan hutan mangrove di dalam kawasan SMKGLT terjadi dengan sangat masif, apalagi hutan mangrove di luar kawasan SMGLTL yang bukan berupa kawasan konservasi diyakini luasan hutan mangrove primer menurun lebih besar. Kondisi serupa juga terjadi di kawasan mangrove lainnya di Sumatera Utara (Onrizal & Kusmana, 2008). Menurunnya kuantitas (luas) dan kualitas hutan mangrove berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap. Hasil penelitian di Kecamatan Secanggang yang merupakan daerah di sekitar SM KGLTL (Purwoko, 2005) dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya menunjukkan bahwa sekitar 56,32% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap. Kondisi ini disertai dengan penurunan pendapatan sebesar 33,89%, dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan dan sekitar 85,4% masyarakat kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove. Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara juga menyebabkan berkurangnya secara nyata populasi kepiting bakau (Scylla serrata) (Amala, 2004). Pada skala global, hasil ulasan Walters et al. (2008) menunjukkan bahwa 80% species biota laut yang komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove di kawasan Florida, USA, 67% spesies hasil tangkapan perikanan komersial di bagian timur Australia, dan hampir 100% udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove.

Inisiasi awal

Di awal tahun 2000, bapak HM Matin yang merupakan mantan Kepala Desa (Kades) Karang Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat mulai mengajak masyarakat desa secara swadaya untuk memulai menanam areal mangrove pada areal yang berbatasan dengan SM KGLT. Pada awalnya sulit mengajak dan hanya sedikit masyarakat yang mengikuti ajakan tersebut. Namun demikian, Bapak HM Matin yang juga merupakan pimpinan pesantren di desanya beserta sedikit orang yang setuju dengan ajakannya tidak pernah menyerah. Mereka mulai secara otodidak belajar menyeleksi benih mangrove yang matang, membibitkan tumbuhan mangrove, dan mencoba menanamnya pada lahan mangrove yang kosong.

Seiring dengan keberhasilannya, pada tahun 2004 pihak pemerintah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Langkat mengajak Bapak HM Matin dan kelompoknya untuk terlibat dalam kegiatan Gerakan Rehablitasi Lahan dan Hutan (GERHAN). Pada tahun tersebut, kelompok Bapak HM Matin dipercaya untuk merehabilitasi 40 ha kawasan mangrove yang berbatasan dengan SM KGLT. Tahun-tahun berikutnya, Bapak HM Matin dan kelompokanya terus mendapat kepercayaan pemerintah dengan luasan areal rehabilitasi mencapai ratusan hektar.

Kini Bapak HM Matin telah menjadi penyedia bibit mangrove dengan kualitas baik dengan keuntungan ekonomi yang tinggi. Pihak Dishutbun Kabupaten Langkat melalui Kepala Dinasnya Bapak Tarigan mengakui bahwa hasil rehabilitasi oleh Bapak HM Matin dan kelompoknya merupakan kegiatan GERHAN yang paling berhasil di Kabupaten Langkat. Selain itu, Bapak HM Matin dipercaya oleh pihak Dishutbun Kabupaten Langkat sebagai pengelola Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Desa Karang Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

Ikan, udang dan kepiting kembali hadir

Seiring dengan tumbuhnya mangrove hasil rehabilitasi oleh Bapak HM Matin berserta kelompoknya, hasil tangkap nelayan kembali membaik. Ikan, udang, dan kepiting yang dulu sulit didapat, kini kembali hadir di sekitar kawasan mangrove yang direhablitasi. Beberapa nelayan yang dijumpai penulis saat survey di kawasan tersebut pada awal November 2008 menyatakan kegembiraannya mengingat hasil tangkapan mereka yang terus bertambah dan tidak lagi harus pergi jauh ke tengah laut. Mereka menyakini, hal ini terjadi seiring dengan mangrove kembali tumbuh dengan baik, sebagai tempai berlindung, mencari makan bagi berbagai biota air.

Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa mangrove yang direhablitasi tahun 2004 kini telah tumbuh lebat dengan tajuk yang rapat. Pohon mangrove yang ditanam tersebut telah mencapai tinggi sekitar 4 m atau lebih. Selain biota air, seperti ikan, kepiting dan udang, berbagai satwa liar lainnya seperti monyet (Macaca sp.) dan burung air, seperti burung kuntul (Egreta sp.) yang dulu susah dijumpai kini kembali mudah ditemukan. Kelompok Bapak HM Matin berkeinginan untuk menjadikan areal rehabilitasi mereka untuk kawasan wisata mangrove dengan menyediakan pondok-pondok pemancingan dan tempat pengamatan satwa. Adakah yang ingin mensponsori?

Penutup: Sebuah ironi yang harus segera diatasi

Keberhasilan Bapak HM Matin dan kelompoknya belum mampu menginspirasi sebagian besar masyarakat pantai di Kabupaten Langkat. Sangat banyak tambak terbuka yang tersebar luas dan diusahakan di kawasan mangrove Langkat kini tidak produktif lagi karena terkena serangan penyakit. Lahan-lahan tambak tersebut merupakan lahan milik masyakat maupun areal hutan yang dikonversi secara ilegal. Sebagian besar areal tersebut bukannya kembali ditanami mangrove, malah dibiarkan begitu saja dan sebagian lagi areal tersebut dikonversi menjadi sawit karena tergiur oleh harga sawit melambung tinggi di kuartal kedua tahun 2008. Tambak-tambak yang sebelumnya sudah tidak produktif, kemudian dikeringkan dan selanjutnya ditanami sawit. Namun saat harga sawit jatuh pada kuartal ketiga tahun 2008, kini mereka kembali dirundung derita. Berharap hasil sawit pada lima tahun lagi, kini mereka dihadapkan oleh kenyataan bahwa harga bukan mereka yang menentukan, sementara ikan, udang, kepiting dan biota lainnya yang bisa sebagai sumber nafkah bagi mereka telah menghilang dari lahan mereka.

Oleh karena itu, perlu pendekatan yang menyeluruh dan tidak parsial, kemudian melibatkan para pihak terkait serta konsistensi kebijakan pemerintah dan aparatnya. Saat ini, aparat pemerintah yang sering disebut oknum diduga oleh masyarakat terlibat dalam memuluskan upaya konversi hutan mangrove menjadi lahan sawit. Promosi keberhasilan kelompok tani dalam merehabilitasi mangrove dan manfaat ekonomi yang mereka dapatkan harus selalu digencarkan. Selain itu, adopsi dan modifikasi rehabilitasi mangrove dengan program pengidupan (livelihood) penting dipertimbangkan dalam program GERHAN di kawasan mangrove. Dana yang biasa dibayarkan untuk pengadaan bibit dan upah tanam dialihkan kepada program menumbuhkan sumber pendapatan keluarga berbasiskan sumbedara alam dan lokan yang ada sebagai imbalan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh masyarakat, baik pada lahan milik maupun kawasan hutan. Akankah kita menjadi bagian dari perbaikan itu? Insya Allah.

Onrizal (onrizal03@yahoo.com; onrizal.wordpress.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun