Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Negeri Kaya Bahasa

13 September 2020   08:18 Diperbarui: 13 September 2020   08:23 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:pixabay.com

"Tos Kaang?..atos Kaang..?" suara lirih bercampur ringis pedih seseorang setengah baya di depan pintu antrian. Kedua tangannya memeluk perut.

"Atos opone? Mencret tau?" ujar gerah seseorang sesaat setelah keluar dari dalam bilik WC umum sebuah pasar.

Di kesempatan lain, saya pernah diteriaki, "Cicing..ciciing.." oleh orang yang tidak saya kenal saat menyeberang jalan. Ketika awal mengenal kota Bandung. Darah saya yang biasanya cepat panas, entah mengapa saat itu terbuai begitu saja.

Mungkin karena saya selamat dari serempetan angkot. Cicing dalam bahasa Bali berarti anjing. Sekarang setelah dua puluh lima tahun berlalu, baru menyadarinya. Saya diteriaki dua kali. Yang berarti, "Anjing...diiaam!"

Itu adalah secuil perkenalan antar bahasa yang kerap terjadi. Seperti sebuah kecelakaan di jalan besar. Kecelakaan yang pada akhirnya memperkenalkan dua orang anak manusia. Tentu kalau keduanya selamat.

Adalah Indonesia, negeri yang kaya bahasa. Ada ratusan bahasa daerah menyelimutinya. Saking kayanya akan bahasa, berpotensi menjadi keblinger kalau masing-masing bahasa daerah tidak mau mengalah. Kecuali masyarakat Indonesia semuanya cerdas. Menguasai seluruh bahasa daerah. 

Bolehlah berbicara seasyiknya. Satu berbahasa Madura dijawab lancar oleh kawannya dengan berbahasa suku Dani. Suku dari pedalaman Papua. Dan keduanya saling memahami dengan baik. Alangkah indahnya bukan? Kecuali ada yang tidak cerdas tapi juga turut melakoni itu. Itulah yang dimaksudkan dengan keblinger.

Menghindari kemungkinan keblinger, maka lahirlah bahasa nasional. Bahasa Indonesia yang bisa diterima penutur bahasa daerah penjuru negeri.

Bahasa pemersatu sudah ada. Aman. Korsleting pemahaman seperti di awal tulisan receh ini, tentu bisa dihindari. Namun bolehlah jangan senang dulu. Mengubah alam bawah sadar akan rasa kaya bahasa, tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Pernahkah menyadari ketercelingukan pikiran, misalnya di dalam situasi darurat bencana alam gunung meletus. Seorang penyiar telivisi mengatakan sedang dalam status 'waspada.' Kemudian di lain waktu kawannya menyebut status 'awas.' Kawannya yang lain lagi menyebut status 'siaga.'

Seberapa bagus masyarakat awam memahami tiga kata itu? Saya mengorek ini karena menemukan tidak semua orang sanggup memahaminya dengan baik. Lain hal misalnya diganti dengan urutan angka yang lebih mudah dipahami di tengah literasi bahasa yang ala kadarnya.

Ketika disuruh mengurutkan tiga kata itu, malah menyahut, "Gak ngerti Pak..apa itu maksudnya. Tapi kalau gunung sudah meletus ya..harus ingat lari Pak."

Lockdown adalah bahasa asing. Barang luar. Barang impor. Undang-undang tidak mengenal kata itu. Cukup barangnya saja yang impor. Sementara bahasa, kita kaya. Maka munculah PSBB. Sudah diterapkan. Ternyata kurang greget. Sebagaimana barang baru, rasa ingin tahu muncul. Mungkin masyarakat masih berkeliaran mencari tahu apa itu PSBB. Apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan jaga jarak. Iya masyarakat keluar mencari tahu. Barangkali ada yang rela memberikan contohnya.

Perilaku ini membuat penyelenggara negara meriang. Negara tetanggapun mendongak disertai celotehan. Tak kalah gerak, pemerintah meluncurkan lagi barang baru, PSBM. Indah bukan? Tentu indah selama ada orangnya. Kalau orangnya habis? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun