Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gelar, Uang Besar Tanpa Kembalian

19 Oktober 2019   07:09 Diperbarui: 19 Oktober 2019   09:43 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Pixabay.com

Suatu saat Rasuli selesai mengetik selembar surat pemberitahuan. Ada kawan yang sempat membacanya. Terlontar pertanyaan di luar dugaan. Dia pikir kawannya akan bertanya seputar isi dari surat tersebut.

"Kamu khan sarjana. Mengapa dalam surat itu tidak tercantum gelar sarjanamu?"

Rasuli menjawab sekenanya. Tapi sepertinya akan mengena ke banyak pengguna gelar. Karena jawaban Rasuli saat itu, saat ini tertuang di Kompasiana. Heuheu. 

Saat itu sambil melepeh kulit kedelai, Rasuli menyahut, "Kalau untuk surat ringan selembar ini aku cantumkan gelar, itu sama dengan membeli sejumput garam dengan selembar pecahan seratus ribuan."

Apa sekiranya yang akan terjadi?
Garam itu sudah pasti kita dapatkan. Bagaimana tidak? Isteri di rumah sabar menunggu. Untuk matang sempurnanya semangkok sop yang lezat. Dari pada hambar, dongkol sambil mantengin lembaran uang besar itu? Bakul garam yang cuma tamatan sekolah dasar itu bahkan sudah memikirkan sampai sejauh itu. Hebat bukan?

Tapi apakah bakul garamnya akan melakukan seperti yang kita pikirkan setelah garamnya kita kantongi? Berani bertaruh?
Alih-alih merasa salah uang, yang terjadi kemudian, "Sudahlah.. Bapak bawa saja uangnya..daripada tidak jadi masak?"
Got Cha!! Kena Kau!!

Sang kawan melongo. Bengong. Bak habis nonton Tarzan Kota-nya Benyamin S. Tidak paham. Mungkin dia tidak menemukan hubungannya dengan pertanyaan yang terlontar dari mulutnya sendiri. Atau mungkin dia terlalu banyak menelan kedelai tanpa sedikitpun air putih. 

"Coba kau jelaskan lewat jalan lain. Belum paham aku.." pintanya sambil memperbaiki duduk dan menggetarkan lubang telinganya dengan kelingking.

Rasuli coba menariknya lewat jalan memutar. Jalan yang lebih lengang. 

"Apa kau pernah ikut gotong royong? Kerja bakti rutin itu? " 

"Tentu.. Pasti.. Tak pernah absen.." 

"Baik. Berarti Kau tau Pak Wir?"

"Oh..iya tentara itu..dia selalu hadir kerja bakti.. kenapa dia?"

"Apa saat kerja bakti dia bawa bedil? Atau pistol? Atau M16? Bazzoka? Atau mungkin kau pernah lihat dia bawa Tank? " 

"Gilaa kau...kerja bakti masa bawa Tank.. Ya nggak laah... ya bawa sapulah..pacul..ember..ada ada saja.. Kau..! Makanya aku ragu..sarjana kau itu..!" nadanya menanjak tanpa ambil nafas sedikit pun.

"Baguslah. Semakin kau pusing berarti kau sudah mulai paham. Tinggal sedikit lagi," ucap Rasuli sambil mengurut-urut tengkuk kawannya itu. Agar suplai oksigen lebih lancar ke kepala.

"Berarti Pak Wir itu bawa Tank ke mana?" tanya Rasuli langsung ke telinga kirinya.

"Yaaa...ke medan perang dong... Atau ke tempat latihan perang lah... Belanda khan sudah tidak ada.. Bagaimana kau ini.. Aneh..!," matanya  menoleh ke sudut kanan atas. Mulut dan matanya mulai tidak sinkron. Matanya sudah mulai mengikuti geliat otak. Mulutnya masih berbusa ego.

" Selamat bro.. Kau sudah paham.. Kurang istirahat saja. Besok pagi saat pikiran kau segar, aku yakin kau sudah paham. Kata-kata yang kau ucapkan dari awal tadi, kau ingat-ingat lagi. Kau coba hubung-hubungkan sendiri. Aku tidak mau kau paham oleh karena aku. Kau harus sanggup memahaminya sendiri. Karena aku tahu kau bisa... Oke bro?" Rasuli mencecarnya tanpa memberi kesempatan bicara. 

Besoknya dia datang lagi sambil membawa dua gulungan koran lusuh. Terlihat mengumbar senyum. Moni, kucing tak diundang itu pun disenyuminya.

"Bener katamu bro. Sekarang aku sudah paham. Tadi pagi aku bongkar semua koran-koran lama. Ini kau lihat sendiri. Biar kau juga lebih paham..hehe.." -lagaknya bak  profesor pemikir jempolan. -(kutipan lirik lagu Iwan Fals, Teman Kawanku Punya Teman)

Rasuli mengamati dua koran lusuh itu. Sang kawan sudah menandai dengan spidol warna merah. Ada dua jenis tulisan dengan nama penulis yang sama. Satu tulisan berupa artikel membahas tentang penyakit dalam. Nama penulisnya disertai dengan gelar kehormatan dan gelar akademik

Sementara tulisan lainnya berupa tulisan di rubrik ruang pembaca. Isinya ringan saja. Tidak membahas keilmuan sang penulis. Namanya tercantum tanpa embel-embel gelar.

Sang kawan tersenyum puas menyaksikan Rasuli mengangguk-angguk. 

"Hebat khan aku bro?" ucapnya bangga di telinga kiri Rasuli sambil mengamit kembali koran lusuh itu.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun