Mohon tunggu...
Onessimus Febryan Ambun
Onessimus Febryan Ambun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat IFTK Ledalero-Flores

Benedictvs Dominvs Fortis mevs qvi docet manvs meas ad proelivm digitos meos ad bellvm

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nietzsche: Si Lemah, Si Kuat, dan Kekuasaan

28 Juli 2022   15:15 Diperbarui: 28 Juli 2022   17:14 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: https://pixels.com/art/paintings/friedrich+nietzsche)

Dalam bukunya yang berjudul "Twilight of The Idols" atau "Senjakala Berhala-Berhala", Nietzsche menulis suatu pernyataan provokatif bahwa argumentasi adalah sebuah instrumen yang hanya dipakai oleh orang-orang lemah.

"A man resorts to dialectics only when he has no other means to hand." ["Seorang manusia menggunakan dialektika hanya ketika dia tidak memiliki cara lain untuk digunakan."]

"Nietzsche, Twilight of the Idols, The Problem of Socrates"

Bagi Nietzsche, orang yang kuat (the strong) tidak perlu berdiskusi, berargumen atau berdialektika. Ia hanya menyuruh atau memberi perintah. Ia menyatakan kekuasaan dan kekuatan yang ia punyai lewat memerintah orang-orang di sekitarnya. Di sisi lain, hanya orang yang lemah atau orang yang tidak memiliki daya dan kekuasaan saja yang akan menggunakan argumen atau dialektika. Pernyataan Nietzsche tersebut merupakan salah satu sindiran keras yang ia lontarkan kepada nalar dan filsafat. Karena, filsafat itu sendiri bersifat dialektif. Artinya, filsafat itu adalah sebuah dialog. Filsafat adalah pertemuan antar ide-ide lewat adu argumentasi.

Intisari filsafat adalah adu argumentasi. Adu argumentasi antar individu atau kelompok merupakan suatu pencarian (zetesis) melalui aspek-aspek pengetahuan yang mendasar (episteme) menuju suatu kebenaran (aletheia). Namun, bagi Nietzsche, realitas seperti kehendak untuk mengetahui kebenaran itu tidak ada. Yang ada hanyalah kehendak untuk berkuasa. Mereka yang mengatakan bahwa mereka hendak mencari kebenaran sebenarnya hanya ingin mencari kekuasaan. Nietzsche dalam konteks ini sebenarnya ingin mengeritiki Socrates dan filsuf-filsuf lain pada umumnya.

Orang yang kuat (the strong), menurut Nietzsche, merealisasikan kekuatannya dengan menjadi kuat. Mereka menyatakan kekuatan serta kekuasaan mereka secara dominatif yakni dengan menguasai orang lain dengan cara apapun sekalipun dengan paksaan dan kekerasan (force). Sedangkan bagi orang yang lemah, mereka merealisasikan kekuatannya lewat argumentasi dan dialektika. Hal itu mereka lakukan karena mereka tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan apapun. Mereka hanya bisa berargumentasi dengan model persuasif agar maksud dan tujuan yang mereka sampaikan dapat dipahami dan diikuti orang lain. 

Namun, jika dikaji secara mendalam, ada sesuatu yang membuat kita "garuk-garuk kepala". Sebab, bukankah Nietzsche sendiri justru sedang berargumentasi melalui pernyataan provokatif dalam bukunya itu? Ia berusaha menghancurkan argumentasi, tetapi ia tidak sadar bahwa ia juga sedang berargumentasi. Tidakkah hal ini menjadi poin yang dapat menghancurkan filsafatnya sendiri? Kendati demikian, hal tersebut tidak menjadi persoalan. Karena, hal yang patut ditarik dari pernyataannya ialah bahwa kodrat manusia yang sebenarnya adalah "The Will to Power" atau "Kehendak untuk Berkuasa".

Manusia di dalam dirinya sendiri memiliki karakter bawaan untuk mendominasi orang lain. Segala kejahatan, kekejian dan kebusukan yang manusia lakukan semuanya dimotivasi oleh "The Will to Power". Entah orang kuat maupun orang lemah, mereka sama-sama ingin mendominasi orang lain. 

Kita terbiasa berpikir bahwa hanya orang-orang berkuasa atau yang memiliki kekuatan sajalah yang berbuat kejahatan atau kebusukan apapun. Acap kali kita membaca atau mendengar bahwa para pejabat melakukan korupsi atau melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Dan karena itu, kita sering kali menuduh bahwa para pejabat atau orang-orang berkuasa adalah iblis tamak yang menghisap rakyat kecil. Di sini, rakyat kecil adalah personifikasi dari orang-orang lemah (the weak). Rakyat kecil selalu menjadi korban. Namun, bagi Nietzsche tidaklah demikian. 

Bagi Nietzsche, selemah apapun seseorang, ia akan tetap ingin mendominasi orang lain. Manusia memiliki kodrat yang selfish atau egois. Ia ingin mempertahankan hidupnya (survive) dengan segala cara melalui dominasi. Dengan mendominasi atau menguasai orang lain, segala kebutuhan yang ia perlukan untuk hidup dapat terpenuhi. Kehendak untuk berkuasa, karena itu, adalah kodrat bawaan manusia yang sangat integral atau tidak dapat dipisahkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun