Mohon tunggu...
ona mariani
ona mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Riset

Content Writer || Content Creator || Researcher || Journalists

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hannah Arendt, Corona, dan Totaliterisme Negara

3 April 2020   14:15 Diperbarui: 3 April 2020   14:22 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pinterest

Serupa dengan apa yang telah disinggung oleh Harari, pada awal abad 20 tepatnya menjelang peristiwa Holocaust, yaitu pembantaian terhadap umat manusia terbesar terjadi di Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, Jerman pada saat itu juga menggunakan legitimasi ilmiah untuk mendeteksi warga negaranya yang berketurunan Yahudi.

Menurut Arendt yang juga menjadi korban selamat dalam peristiwa genosida terbesar di Benua Eropa pada saat itu , Hitler mengerahkan para ilmuwan untuk mengabdi pada negara dan mendukung kebijakan - kebijakan yang dikeluarkan olehnya. Bahkan nama ilmuan master eksistensialis sekelas Martin Heiddeger juga tak ketinggalan menjadi followers sang Fuhrer ini.

Demi mewujudkan gagasan-gagasan rasialnya yang tertulis dalam karyanya yang berjudul Mein Kampf, yang mana ras arya adalah ras paling unggul dibanding ras lainnya. Hitler tak tanggung-tanggung untuk mengerahkan para ilmuwan untuk mencari orang-orang yang memiliki mata biru, berambut pirang, berbadan jangkung, dengan panjang hidung dan panjang telinga dengan ukuran tertentu, yang mana dianggap sebagai ras arya sejati. Dan jika seorang warga negara tidak berciri demikian, maka ia berhak dicurigai sebagai Yahudi atau ras lain yang legal untuk dimusnahkan.

306b9900-a0e5-4b9b-99d4-bb164ed403fa-5e86d435d541df4f4d7c5d37.jpg
306b9900-a0e5-4b9b-99d4-bb164ed403fa-5e86d435d541df4f4d7c5d37.jpg

Menentukan silsilah rasial dengan pengukuran daun telinga di Institut Antropologi Kaisar Wilhelm . Sumber Gambar (Ensikolopedia Holocaust)Bahkan untuk menyingkirkan orang-orang tidak produktif seperti lansia, penyandang disabilitas, Hitler tak segan-segan membuat sebuah program yang disebut "Eutanasia" untuk melegalkan para dokter di Jerman dan profesional kesehatan lainnya untuk membunuh mereka dengan tenang di yayasan-yayasan penampungan.

Benar saat itu pengawasan terhadap warga negara masih dilakukan secara manual, alias pakai tenaga manusia. Dan belum mampu menembus ke dalam kulit warga negara sedikit mengutip istilah Harari.Tapi korban yang berjatuhan nyatanya mencapai enam juta jiwa, itu pun belum termasuk orang-orang Roma (Gipsi) dan lawan politik Hitler ( Baca: Ensiklopedia Holocaust ). Lantas bagaimana jika saat itu sudah ada teknologi yang dapat menembus batas kulit? , yang mana mampu mendeteksi perasaan senang, sedih, cemas atau pun marah seorang warga negara. Tentu dapat dengan mudah Hitler mengetahui siapa saja yang berpotensi menjadi lawan politiknya. Sampai di sini saya rasa kekhawatiran Noah terkait totaliterisme negara dalam bentuk pengawasan biometris masa depan yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dalam artikelnya tidak lah berlebihan.

Pelita di Tengah Krisis 

Menurut Arendt dalam karyanya Asal-Usul Totaliterisme selain sebagai pemimpin, Hitler adalah seorang ideolog yang luar biasa. Kepiawaiannya dalam orasi dan meyakinkan orang-orang di sekitarnya terkait pemahamannya akan ras manusia unggul adalah sesuatu yang tak bisa dipandang sebelah mata. Politik identitas menjadi bahan bakar utama tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah dunia itu. Hitler mampu memainkan sentimen antar ras orang-orang Eropa dan mengembalikan kepercayaan diri Jerman yang terpuruk karena kalah perang pada perang dunia pertama.

Meyakinkan bangsanya bahwa Yahudi tengah menggalang kekuatan untuk menguasai perekonomian dunia dengan menjadi warga negara Jerman, nyatanya berhasil meyakinkan para pengikutnya, yang terdiri dari orang-orang pengangguran, buangan partai, dan warga lokal yang kalah saing secara perekonomian dengan masyarakat pendatang yang mayoritas adalah Yahudi. Sekali lagi di balik krisis masyarakat Jerman, Hitler meraih simpati.

Dalam karyanya Arendt juga menyebutkan betapa krisis negara pada saat itu, nampak membuat mimpi - mimpi Hitler terkait ras Arya sebagai ras unggul dan tak terkalahkan sebagai penguasa dunia dan bukan Yahudi, adalah satu-satunya pelita di tengah gelapnya badai krisis.

Sepintas membaca karya Arendt tentang Hitler ini , saya masih diliputi rasa tidak percaya bahwa semudah itu seseorang digiring pada ide-ide gila seorang pemimpin yang belakangan diketahui memiliki ciri-ciri psikopat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun