Mohon tunggu...
ona mariani
ona mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Riset

Content Writer || Content Creator || Researcher || Journalists

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kartini 4.0: Membaca Peluang di Antara Jeratan Peradaban

27 Mei 2019   20:02 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Banyak halyang bisa menjatuhkanmu. 

Tapi satu-satunya hal yang benar

-benardapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri

R.A. Kartini

Sebelum membahas lebih lanjut terkait topik pada tulisan kali ini, pemilihan nama tokoh perempuan sebagai judul dalam tulisan tidak bermaksud untuk menutup mata pada pejuang-pejuang perempuan Indonesia lainnya, yang telah mengorbakan nyawa, waktu, dan pikiran-pikirannya untuk memperhatikan masa depan perempuan 

Kartini merupakan seorang perempuan berdarah Jawa yang pertama kali mempertanyakan posisi perempuan dalam keluarga dengan balutan tradisi feodal Jawa. Menjadi cukup dikenal karena ia tak hanya berhasil mendirikan infrastruktur  fisik sekolah untuk kaummnya perempuan, melainkan " infrastruktur pemikiran" bagi para perempuan melalui tulisan-tulisannya. Karena alangkah betapa susahnya memahami kondisi Kartini pada saat itu jika Kartini tak benar-benar menulis sejarahnya sebagai sebuah bahan perbandingan kondisi perempuan hari ini. Ini yang kemudian menjadikan alasan penulis lebih akrab dengan perjuangan Kartini dibanding tokoh-tokoh perempuan lainnya, yang kemudian berujung pada pemilihan judul pada tulisan kali ini.

Kegelisahan Kartini mengenai kondisi perempuan pada zamannya, yang khusunya yang tidak mendapatkan hak pendidikan, menikah muda, tidak memiliki keahlian apapun setelah menikah sehingga dipandang sebagai second class  dan berujung pada kutukan dapur, sumur, dan kasur merupakan sejumlah kegelisahan yang meluap sehingga  dengan persetujuan suaminya bupati Rembang Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ia mendirikan sekolah Kartini pada tahun 1912.

Perjuangan menuntut hak-hak perempuan tanpa harus mengkambing hitamkan laki-laki atau bahkan memusuhinya, ini merupakan ciri khas gerakan Kartini. Entah pada saat itu ia mengenal istilah patriarki atau tidak, di dalam surat-suratnya pada sahabatnya di Belanda tak satu pun ia  menyalahkan laki-laki atas apa yang terjadi pada diri perempuan.

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali kami nginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaumwanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama .

 (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Otober 1901)

*Kartini dan Redefinisi Makna Budaya Patriarki

Sekali lagi jika ditarik pada ranah strategi gerakan, Kartini melibatkan laki-laki dalam perjuangannya. Bagaimana hal ini dapat kita lihat pada tulisan-tulisannya ketika ia membahas soal Panji Sosrokartono yang tak lain adalah saudara laki-laikinya yang menjadi orang pertama dalam keluarganya yang mendukung semua gagasan-gagasan Kartini dengan meminjamkan buku-bukunya pada Kartini. Mengajari Kartini berbagai bahasa di antaranya Belanda dan Inggris karena ia seorang polyglot yang cakap dalam 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah . ( Baca: Historia.id edisi 21 oktober 2016).  

Gagasan-gagasan Kartini dalam suratnya pada sahabat pena-nya seperti Stella, Nyonya Abendanon, Prof Anton itu  pun tak   terlepas dari nasihat-nasihat Kartono pada Kartini yang memiliki jaringan pertemanan luas di Eropa, sebagai sebuah pemantik untuk Belanda dalam melihat kesenjangan pendidikan di Bumi Poetra pada saat itu

Selain itu bagaimana kemudian  hubungan Kartini dan suaminya Adipati Ario Singgih Bupati Rembang dalam mendirikan sekolah  putri Kartini di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabuapten Rembang, dan juga mendatangkan guru ukir dari Jeparan untuk sekolah pertukangan kayu bagi anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang menjadi cita-cita Kartini pada masa itu. (Willebord Yudhistira dalam RA Kartini: Hidup dan Perjuangannya Bagi Remaja (Putri) Masa Kini academia. edu)

Sekilas melihat perjuangan Kartini yang didukung oleh laki-laki di dalam keluarganya, dapat kita lihat bagaimana kemudian Kartini cukup bersahabat dalam memahamkan apa yang kemudian menjadi persoalan yang dihadapi oleh perempuan terhadap laki-laki pada masa itu. 

Strategi semacam ini yang kemudian sedikit  sulit dipahamkan , tepatnya ketika kita menghadirkannya pada  ruang-ruang kajian feminisme, yang terkesan menjadikan seluruh laki-laki sebagai kambing hitam dari seluruh persoalan perempuan. Seperti apa yang kemudian diungkapkan oleh seorang feminis Lynne Segal yang berpandangan bahwa ' sebagai perempuan kita bis mengubah kehidupan kita dan juga orang lain pada saat kita sudah dapat melihat apa yang ada di balik "kebohongan  laki-laki".

Konsep patriarki yang dinilai masih menjadi instrument yang relevan dalam menjelaskan posisi perempuan yang subordinat (Alexander dan Tylor 1981), sejatinya hanya sampai pada pembahasan "generalitas  abstrak"  dalam ranah kajian, namun memaksakan diri untuk diwujudkan secara nyata di ranah praktis.

Dalam kajian budaya feminis, konsep ini sering kali dianggap sebagai : suatu sistem dominasi laki-laki yang dianggap ada dan digunakan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pelbagai macam contoh penindasan yang dialami perempuan (Baca: Joanne Hallows, Feminisme, femininitas dan Budaya Populer). Namun sadar atau tidak kita sering menghindari pembahasan  terkait sifat, bentuk dan penerapan patriarki itu sendiri dan hanya sampai pada hal-hal yang "bersifat patriarki" atau "efek dari patriarki" itu sendiri. Kerancuan dalam menjelaskan konsep patriarki ini yang kemudian tak heran jika sebagian laki-laki cenderung menjaga jarak pada kajian-kajian seputar perempuan atau bahkan terlibat dalam perjuangan pergerakan perempuan.

Selanjutnya dampak dari adanya generalisasi abstrak tentang konsep patriarki ini yang kemudian membuat kita mudah menghukumi segala sesuatu yang menjadi penghambat gerakan perempuan adalah sesuatu yang niscaya sebagai "patriarki".  Bahkan setiap perempuan yang datang dengan status sosial berbeda itu bisa saja memiliki sudut pandang yang berbeda tentang patriarki itu sendiri.

Seorang perempuan yang mempunyai status sosial tertentu di masyarakat dan memperoleh peran strategis, tentu melihat perempuan lain yang memilih jalan sebagai ibu rumah tangga dibanding mengejar karir adalah karena ia terjebak dalam budaya patriarki yang diciptakan oleh sang suami.

Sedangkan seorang perempuan terpelajar melihat perempuan yang hanya menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dan sibuk mementingkan penampilan, adalah karena ia juga terjebak oleh patriarki kapitalistik yang berhasil menjadikan mereka sebagai konsumen dan meta-komoditi. (Baca: Yasraf Amir Piliang, Dunia yang dilipat)

Sedangkan sebagai perempuan yang memilih untuk mengurusi keluarganya, juga tentu akan melihat perempuan yang bekerja sebagai buruh-buruh pabrik adalah perempuan yang patut dikasihani karena budaya patriarki yang datang dalam bentuk himpitan ekonomi telah mendorong mereka sebagai pekerja yang tak memiliki waktu bebas untuk menikmati momen-momen bersama keluarga.

Sampai pada sebuah kecurigaan bahwa patriarki yang dihadirkan oleh para feminis adalah sebuah nama untuk menyebutkan jenis ketakutan yang hadir dalam diri perempuan karena rasa tidak puas dan tidak percaya diri dengan sebuah peran yang tengah dijalaninya.

Pengalaman-pengalaman yang tidak puas demikian ini yang pada akhirnya telah berhasil mengkonstruksi bahwa sesuatu yang domestik adalah seuatu yang lebih rendah dibanding sesuatu yang publik, maskulinitas lebih  sempurna dibanding feminitas, dan kegiatan produksi akan selalu lebih terlihat berkelas daripada kegiatan konsumsi serta rentetan kecurigaan lainnya.

Kegagalan dalam menunjukkan yang mana yang patriarki, juga menjadi penghambat dalam menyukseskan gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender, yang mana laki-laki  dan perempuan niscaya terlibat di dalamnya. Alasan untuk tak melibatkan laki-laki dalam perjuangan perempuan  seakan menemukan sebab yang tepat untuk berdiri di atas prasangka-prasangka  yang di konstruksi secara sosial antara  hubungan laki-laki dan perempuan

*KARTINI,  SISTERHOOD DAN POLITIK FEMINIS

Selain pahlawan emansipasi , sebuatan feminis Indonesia juga dilekatkan pada diri Kartini atas apa yang telah dilakukan. Meskipun Kartini tidak turut ikut turun di jalan bersama perempuan Eropa abad 19 untuk menuntut haknya, namun hal ini dapat perhatikan pada beberapa surat yang ia kirim pada sahabatnya Stella Zeehandelaar di Belanda yang tak lain merupakan seorang tokoh feminisme sosialis yang juga turut memperjuangkan hak-hak perempuan di Eropa.

Seperti yang kemudian kita ketahui di beberapa literature terkait gerakan feminism sosialis yang justru terkenal pada abad 20 sekitar tahun 1960-an dalam kampanyenya cenderunng melibatkan laki-laki di dalam perjuangannya untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Feminisme aliran ini berpendapat bahwa sumber dari ketertindasan perempuan adalah patriarki dan kapitalisme. Dan mengklaim bahwa perempuan tidak bisa bebas ketika masih menggantungkan kebutuhan finansialnya pada laki-laki. Hal ini yang kemudian terlihat pada perjuangan Kartini dengan mendirikan sekolah perempuan yang memberikan ketrampilan khusus pada siswanya yang seperti menjahit, menenun, dengan harapan ketrampilan-ketrampilan tersebut dapat digunakan nantinya ketika mereka berkeluarga dan tidak hanya bergantung pada suami.

Meskipun pada saat itu istilah feminisme belum cukup mapan di lekatkan pada setiap pergerakan perempuan yang memperjuangkan haknya dibanding dengan istilah Women Movement, namun apa yang kemudian menjadi landasan gerakan perempuan  dari abad ke abad tetaplah sama, yakni karena adanya sisterhood atau rasa solidaritas sesama perempuan.

Ikatan perasaan senasib sepenanggungan menjadi second sexs ini yang kemudian menjadikan sebuah landasan gerak, bahwa apa yang kemudian menjadi hal-hal privat yang dihadapi perempuan menjadi permasalahan bagi perempuan di tempat lain, ini yang kemudian pada perkembangan feminisme gelombang kedua  pada era 1970-1980-an disebut sebat sebagai private is political.

Namun pada perkembangannya sekarang ini ketika cita-cita perempuan untuk terjuan ke ranah publik telah terwujud, ikatan perasaan senasib sepenanggungan itu mulai pudar dan berganti pada sebuah keinginan berkompetisi sesama perempuan untuk mengisi ruang publik. Bahkan tak jarang hal ini dicapai dengan menggunakan tindakan kekerasan.

Pengeroyokan terhadap siswi Sekolah Menengah Pertama yang bernama Audrey di Pontianak oleh beberapa siswi Sekolah Menengah Atas , dan berbagai macam bentuk bully-an di bangku sekolah atau institusi perguruan tinggi yang dilakukan oleh sesama perempuan, kasus perdaganngan perempuan yang sering menjadikan perempuan sebagai pelaku utama dalam memperdagangkan sesama perempuan merupakan beberapa contoh bagaimana kemudian ikatan sisterhood mulai terkikis di antara sesama perempuan. Dan Jika hal ini kemudian dibiarkan  terus-menerus bukan tidak mungkin perempuan justru menciptakan pekerjaan rumah sendiri dalam gerakannya dengan melawan sesama perempuan.

*ERA 4.0:  MEMBACA PELUANG DI ANTARA JERATAN 

Meskipun konsep patriarki  masih bersifat ahistoris, namun sekali lagi harus diakui bahwa hanya patriarki yang dapat menjelaskan posisi perempuan yang tersubordinasi. Fakta selanjutnya adalah bahwa patriarki dapat mempengaruhi, dan akan dipengaruhi oleh elemen-elemen budaya polpuler yang akan semakin mempertegas batas peranan antara laki-laki dan perempuan 

Elemen-elemen  budaya popular yang dimaksud di sini diantaranya adalah perkembangan teknologi. Bagaimana kemudian hari ini dunia sedang disibukkan dengan praktik era industri 4.0 yang membuat hampir semua negara mempersiapkan diri untuk itu tak terkecuali Indonesia. 

Istilah yang dikenalkan oleh Profesor Klau Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution ditandai dengan serangakain teknologi internet of things  yang menggabungkan dunia fisik, digital, dan biologis; serta dapat memengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, dan industri. Dunia memiliki potensi untuk menghubungkan miliaran orang ke jaringan digital, meningkatkan efisiensi organisasi, cara mengelola asset, bahkan meregenarasi lingkungan/ alam . (Baca www.weforum.org)

 Lebih jauh dari itu ini tak hanya era perkembangan tekonologi, tetapi meliputi transformasi kehidupan bermasyarakat, mengubah gaya hidup, cara kerja dan keintiman berelasi satu sama lain antar manusia dengan sesamanya atau manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Menanggapi fenomena global yang mempunyai dampak signifikan pada masyarakat ini, tentu ada banyak kelompok yang menyambutnya dengan euphoria karena waktu kerja akan semakin singkat namun dengan tetap mematok  standar kepuasan tinggi, karena "mesin pekerja" tidak mengenal lelah, disamping kemampuan artificial intelegence meminimalisir kesalahan  ketika bekerja karena mesin-mesin pekerja akan di program sedemikian rupa hingga taraf ketelitiannya mencapai ketelitian manusia.

Namun tak sedikit juga kelompok yang pro kemanusiaan akan " panik" menanggapi fenomena  yang tak dapat lagi dibendung ini, dengan asumsi pengurangan terhadap jumlah pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh manusia nantinya, yang tentu akan berdampak pada upah yang diterima atau bahkan ketiadaan kerja sama sekali karena semua pekerjaan telah diselesaikan oleh  tenaga kerja "mati" tadi.

Meskipun fenomena ini memiliki dampak  global pada semua jenis gender, namun pada ulasan kali ini  penulis mencoba melihatnya dari sudut pandang seberapa besar peluang serta dampak era 4.0 ini terhadap perempuan. Karena pada wacana revolusi teknologi yang bergabung dengan ilmu pengetahuan ini perempuan merupakan kelompok yang akan dipertanyakan posisinya. Ini tentu  bukan lah tuduhan tanpa dasar karena melihat data Badan Pusat Statistik dua tahun terakhir mencatat perbandingan gender dan tingkat partisipasi pasar kerja antara perempuan (55%) dan laki-laki (83%).Dan dari 55 persen hanya sekitar 30 persen pekerja prempuan yang terlibat dalam Science, Technologi, Engineering and Mathematics/ STEM.

Hal yang kemudian perlu disadari bahwa kemunculan-kemunculan angka-angka di atas bukanlah tanpa sejarah yang jelas, bahwasanya memang di masyarakat kita teknologi telah memiliki jenis kelaminnya sendiri yakni laki-laki. Indikasi semacam ini dapat dilihat bagaiamana sebuah keluarga akan membedakan jenis mainan antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki sejak kecil telah akrab dengan robot , pesawat, mobil yang erat kaitanya dengan bentuk hardware teknologi, dan anak perempuan akan sibuk dengan boneka dan alat-alat memasak.  Hal semacam ini memperlihatkan bahwa sejak kecil laki-laki telah lebih akrab dengan teknologi dalam bentuk yang paling sederhana di banding perempuan, sehingga tidak heran kelanjutan dari drama pemilihan jenis mainan ini juga berdampak pada  dominasi  pemilihan je jurusan pendidikan ketika mereka besar nanti, bahwa jurusan teknik perkapalan, mesin, teknik informatika masih menempatkan laki-laki sebagai pelanggan utama.

Secara kronologi menurut Wacjman seorang sosilog yang menghabiskan waktunya untuk penelitan teknologi dan gender serta Donna Haraway yang mendapat julukan feminis tekno-sains ada  sebuah konstruksi politis   antara penguasaan tekonologi yang dikendalikan oleh para maskulin  dengan tujuan menguasai ruang publik. (Baca: Jurnal Perempuan edisi 78 Gender dan Teknologi). Konstruksi politis semacam ini lah yang kemudian membuat perempuan jauh dari tekonologi, sehingga angka 30 persen dari 55 persen bukanlah angka yang begitu saja muncul dengan sendirinya.

Lebih jauh daripada itu kepanikan rendahnya upah kerja buruh perempuan juga tak terelakkan,  bahwasanya menurut BPS tahun 2018 menempati angka Rp2,4 juta dibanding laki-laki yang mencapai Rp  3,6 juta  (Baca: Detik finance edisi 8 November 2018) dan  belum lagi hanya dihitung sebagai buruh "single", karena regulasi hanya menetapkan buruh laki-laki yang akan mendapatkan tunjangan tambahan yakni untuk anak dan istri, ini semakin memperumit masalah ketika misalnya dengan kehadiran teknologi semacam ini akan memisahkan mereka dengan ruang kerja mereka.

Namun terlepas dari itu semua, sekali lagi baik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tak bisa lagi dibendung, mau tidak mau semua gender tak terkecuali  perempuan pada masanya nanti juga akan dituntut untuk menyesuaikan diri. Hal ini dapat dilihat bagaimana kemudian tema International Women'S Day pada 8 Maret 2019  yakni "Think, Equal, Build Smart, Innovate for Change" merupakan respon nyata terhadap perkembangan era  industri 4.0.

Selanjutnya lebih jauh dari itu perempuan harus menyadari bahwa  ini merupakan era pertarungan bebas, agenda perlawanan tak berkurang justru bertambah karena apa yang disebut sebaga "patriarki" mempunyai medium baru  yakni teknologi untuk beranak-pinak.

Diperlukan pendekatan perencanaan dengan pola pikir yang inovatif dan "berpikir setara", karena kita tidak lagi pada tataran mencari dan mengenali patriarki, melainkan menghadapi patriarki. Pada posisi semacam ini perempuan tak lagi hanya dituntut mengetahui atau bahkan mengikuti perkembangan wacana , melainkan sampai pada kewajiban untuk membuat wacana.

Lebih jauh daripada itu secerdas-cerdasnya teknologi tetaplah manusia yang memegang remote control. Pertanyaannya kemudian adalah kelompok mana dari manusia yang akan diberikan kesempatan  untuk memegang remote control itu?

Pada akhirnya generasi Kartini  hari ini dituntut untuk benar-benar pandai dalam membaca peluang di tengah jeratan yang ada. Bagaimana kemudian kita turut ambil bagian dalam mengendalikan remote control peradaban. Dan sekali lagi perempuan hari ini harus mendengarkan tentang apa yang pernah dinasihatkan oleh Foucault, jika sosok yang menguasai dunia ke depan adalah dia yang menguasai wacana.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun