Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tobat

29 Juli 2021   23:48 Diperbarui: 30 Juli 2021   00:19 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://4.bp.blogspot.com

Bulan Juli sebentar lagi akan berpamitan. Kehidupan terus meninggalkan cerita. Kumpulan cerita menjadi kenangan yang kubawa kemana pun pergi. Usia bertambah, sisa hidup semakin berkurang. Kata orang bijak hidup adalah menanam dan menuai. Siapa yang berlaku angkara, akan menderita. Sebaliknya siapa yang menjalankan kebenaran akan menuai kedamaian.

Seperti pagi yang damai ini, kotaku masih dingin. Bekunya mengoyak dan menggigit jaket parasut yang kukenakan. Aku tak mau lagi tertidur saat fajar beranjak muda. Tak ada nasib baik yang digantungkan pada orang lain. Semua harus diperjuangkan sendiri. Apapun yang terjadi.

Musim boleh berganti, orang-orang boleh berdiam diri. Mereka patuhi anjuran untuk di rumah saja. Tapi tidak denganku. Bagaimanapun situasinya aku harus segera menyusuri jalan kecil perumahan. Bukannya aku tidak patuh, tapi aku harus keluar rumah untuk mengangkut sampah. Pekerjaan yang selama ini mencukupi kebutuhan rumah tanggaku.

"Pak nanti siang kalau longgar minta tolong membersihkan taman ya?" pinta bu Pujo saat aku lewat di depan rumahnya.
"Siap bu Pujo, nanti siang ya" ini kabar gembira bagiku. Tambahan penghasilan tentu menjadi semangatku.

Begitulah kegiatanku setiap pagi. Mengangkut sampah hingga menggunung, lalu kudorong sendiri hingga ke pembuangan akhir. Sebelum diangkut truk sampah, sudah banyak orang yang memilah sampah, seperti memilah kehidupan. Mana yang baik diperlukan, mana yang buruk dibuang.

Menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri jika jalan perumahan nampak bersih. Tak ada sampah yang menumpuk, tak ada lalat yang saling berkecamuk. Sehingga jika Pak RT memuji kerjaku maka aku pun merasa pantas menerimanya. Meski begitu aku tidak lantas takabur, menjadi orang paling berjasa. Tidak, tidak demikian. Aku sudah berniat membersihkan diri, keluargaku dan lingkunganku. Bukankah kebersihan bagian dari iman?

Bagiku pekerjaan mengangkut sampah bukanlah hal memalukan. Aku juga tidak pernah merasa kekurangan. Beruntung istriku piawai mengatur dapur, anakku dapat bersekolah, dan aku bersyukur selalu dikarunai kesehatan, sehingga mampu mencukupi nafkah rumah tangga. Tak bisa kubayangkan seandainya aku kaya raya tapi sakit-sakitan. Terbukti saat ini uang melimpah bukan jaminan menyembuhkan sakit. Banyak pula orang berharta tak tertolong nyawanya. Hidup bukan untuk dibayangkan, hidup untuk dijalani. Hidup adalah kenyataan, bukan mimpi.

"Kenapa pak kok buru-buru?" tanya istriku.
"Ya bu, ada rejeki, Bu Pujo tadi minta tolong untuk membersihkan taman di rumahnya" balasku bersemangat.
"Alhamdulillah, kebetulan kopi dan gula habis, hehehe" goda istriku.

Aku hanya menciutkan dahi, "Nggak kurang juga nggak lebih ya bu, cukup"
"Disyukuri pak, nanti sore tak buatkan kopi paling nikmat" sahut istriku. Aku mengangguk girang dan segera meraih peralatan untuk membersihkan taman.

"Bapak ke Bu Pujo dulu ya" pamitku pada istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun