Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: 17:30

23 Mei 2021   00:13 Diperbarui: 23 Mei 2021   09:28 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sardi mendadak resah, tiga hari lagi ia akan pensiun sebagai pegawai kantoran. Persyaratan usia pensiun 58 tahun, namun Sardi mengajukan dua kali perpanjangan kerja kepada pimpinan. Kini di usia 61 tahun Sardi benar-benar harus pensiun, apapun alasannya. "Bekerja di usia tua sudah tidak produktif lagi", demikian kata manajer personalia saat menyerahkan surat keputusan pensiun.

Sardi sebenarnya yakin bahwa nanti akan baik-baik saja. Membayangkan menikmati masa pensiun di rumah bersama istri. Baginya uang pensiun yang sedikit itu sudah cukup untuk hidup tiap bulan. Apalagi kedua anaknya telah berkeluarga dan berkecukupan.

Rupanya motivasi yang diberikan teman-teman sekantor masih belum mempan menepis keraguan Sardi menjelang pensiun. Entah mengapa Sardi diam-diam merasa takut menjadi tua. Takut tidak melakukan apa-apa setelah pensiun. Serta kecemasan lain yang selama ini tak pernah melintas dalam pikirannya. 

Terlintas pula bayangan bahwa ia tak ingin melangkah pelan sambil menggenggam tongkat. Lalu orang-orang menawarkan diri mengantarkannya menyeberang jalan. Sebab Sardi sering menyeberang ke lapangan di dekat rumah untuk jalan-jalan pagi.

Berbagai keresahan seperti mengantri di benak Sardi. Teman-teman kerja pun menyadari perubahan Sardi. Mereka terus memotivasi Sardi untuk tetap tenang dan menjalani masa pensiun tanpa beban. Namun kenyataan berbeda, Sardi justru sibuk menghalau berbagai resah. Entah, bukannya optimis malah semakin resah, menjadi kian cemas.

Sardi beranjak dari kursinya. Ia matikan AC ruangan. Beberapa tulangnya terasa ngilu. Tengkuk lehernya dipijat sendiri sembari merasakan telapaknya kian dingin. Saat tubuhnya berbalik arah ke kursinya, jam dinding menunjuk angka dua belas siang. 

"Mengapa waktu terus menyergapku? bahkan sekarang tubuhku terasa membeku di ruangan ini. Ah, sudahlah. Mungkin sebaiknya aku ijin pulang dulu saja" gumamnya seraya menggamit beberapa dokumen.

"Meja ini harus bersih, siapapun yang bekerja di meja ini semoga bisa seperti aku" telapak tangan Sardi menyapu singkat permukaan meja kerjanya, seolah belum bersedia pensiun.

Diluar masih panas. Tujuan Sardi sebenarnya bukan hanya pulang. Ada keperluan memperbaiki arloji. Sebab nanti akan melewati pasar Sukasari. Sardi suka meluangkan waktu mampir di lapak arloji untuk memuaskan kegemarannya melihat arloji. Jika ada yang menarik hatinya, maka tak segan ia akan membeli arloji itu sebagai koleksi.

Saat memasuki pasar Sukasari tubuhnya bermandi keringat. Ia berniat istirahat di warung melepas penat. Duduk di bangku yang selama ini menjadi favoritnya, yaitu bangku hijau di samping warung yang berdampingan dengan lapak arloji.

"Jahe panas satu mbok" pesan Sardi pada mbok warung.
"Wah tumben jam segini sudah muncul Pak Di?"
"Ijin pulang duluan mbok"
"Wah enaknya Pak Di, aku juga mau kerja seperti itu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun