Diam menjadi akrab saat malam semakin ringkih. Kepalaku pening. Mabuk oleh kata-kata.
Saat pagi hendak tumbuh, dadaku terasa hangat. Kau terus memandangiku dengan wajah bahagia. Jemarimu mengepakkan pena seperti kupu-kupu. Â
Sepenggal waktu kemudian terus meninggi, kau hiasi diriku dengan frasa. Jajaran kalimat meliuk-liuk merapikan diksi. Lalu di alinea terakhir, kau beri penanda cahaya dari sisa purnama semalam.
"Kaulah puisiku" katamu singkat.
Di senja ini, untuk kesekian kalinya aku telah mengelupas lepas dari buku karyamu. Dipungut oleh bibir-bibir yang terus memujaku dan mendo'akanmu dalam hening kamarmu.Â
"Mengapa kita seabadi ini?" gumamku.
"Apa karena aku puisimu?" tak ada yang menyahut, kecuali yang kekal adalah puisi, yang fana adalah jemari.
SINGOSARI, 13 Maret 2021