Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cubitan Dibalas dengan Cubitan

12 Oktober 2020   00:43 Diperbarui: 12 Oktober 2020   19:51 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset.kompas.com/

Sebenarnya aku malas diajak berziarah di kuburan Mbok Saripah. Dia bukan saudaraku, dia hanya asisten rumah tangga yang merawatku sejak bayi hingga remaja. Itu saja. Tapi, aku ingin meminta maaf, dengan cara apapun.

Lagi pula perempuan tua itu sudah meninggal dunia. Dia bukan asisten rumah tangga lagi di rumah ini. Tiba-tiba saja ada Mak Yekti sebagai penggantinya. Lebih muda, lebih ayu dan sabar. Tidak seperti Mbok Saripah yang tua, keriput dan suka mencubitku.

Aku tak ingat dengan pasti sejak kapan Mbok Saripah menyuapi bubur. Aku hanya ingat saat digendong dan tubuhku merapat sangat dekat. Dalam gendongan itu sebenarnya aku sangat lahap makan bubur, tapi hidungku selalu mencium bau yang tak bisa kujelaskan. Terkadang perutku merasa mual ingin muntah. Untuk itu aku selalu menghindar dengan sekuat tenaga jika kepala Mbok Saripah mendekati wajahku. Mungkin ia hanya ingin membersihkan sisa bubur di sekitar mulutku. Tapi aku selalu mengelak, aku berontak supaya segera dilepaskan dari gendongannya.

Beruntung Mbok Saripah memahami maksudku. Lalu tubuhku di letakkan diatas kasur. Disuapinya mulutku sesendok demi sesendok dengan bubur. Legalah hatiku bisa rebahan di kasur empuk sambil makan bubur. "Wah kayak anak sultan saja kamu ini" gumam Mbok Saripah lirih.

Itu dulu. Saat aku masih berusia puluhan bulan. Aku sendiri tak paham. Ingatanku tak banyak merekam. Memori di kepalaku hanya bisa memerintahku menangis, merengek rewel dan menguap ingin tidur. Tatapanku juga tidak jauh-jauh dari perempuan tua yang belakangan kuketahui bernama Mbok Saripah.
-----*****-----
Kenakalanku sebagai anak kecil tentu wajar dan berkembang sesuai usia. Bukan nakal sebenarnya, hanya serba ingin tahu saja. Namun, respon Mbok Saripah ternyata berbeda. Setiap kali aku meraih sesuatu, diam-diam kurasakan panas di paha. Sentuhan yang dalam tapi tidak nyaman. Reflek, aku menangis sejadi-jadinya. Bukan karena tidak dituruti keinginanku, tapi rasa nyeri di paha yang tak kunjung sirna.

"Hayo Mbok cubit loh ya, nggak boleh nakal" demikian Mbok Saripah selalu mengancamku.

Anehnya aku semakin tertantang. Seluruh bagian tubuhku sudah pernah dicubit. Tapi, beberapa waktu kemudian sudah tak kurasakan sakit. Maka, aku  pun penasaran dengan hal-hal lainnya. Misalnya menumpahkan air di gelas, menarik taplak meja, dan yang sering menggoyang-goyangkan kipas angin sampai ambruk. Kalau sudah begitu, bertubi-tubi rasa nyeri mendadak kurasakan di beberapa bagian tubuh. Jari kasar yang menekan-nekan itu seolah tak asing untuk tubuhku yang kecil dan ringkih ini.

Apalagi saat Mbok Saripah menyetrika baju sambil nonton drama Korea. Dia duduk melantai dan kadangkala menangis sendiri. Sebenarnya aku sedih melihatnya menangis, kuraih baju-baju yang tertata rapi untuk menghapus air mata di pipinya. Mirip seperti tayangan di televisi. Namun apa yang kuterima? bukan belas kasihan dan rasa terima kasih telah diperhatikan, dia malah bangkit dari melantai. Wajah keriput dengan mata melotot itu pun bersiap mencubit tanganku satu hingga tiga kali.

"Huh rasain, awas kalo nggak dirapikan" emosi Mbok Saripah tak terhindarkan.

Aku hanya meringis dan menahan sakit. Kugosok-gosok bekas cubitan itu. Biasanya setelah itu akan reda sendiri rasa sakitnya. Lalu aku berlari ke kamar. Berteman sunyi sambil memandangi seisi kamar. Ada foto ibuku yang setiap pagi entah kemana bersama ayah. Mereka selalu berpakaian rapi, berbau wangi dan memakai sepatu lalu naik mobil keluar rumah. Nanti sore, ibu dan ayah kembali di rumah ini. Lalu Mbok Saripah sibuk di belakang. Kemudian makan bersama dan aku digendong ibu sampai tertidur.

Hanya itu yang kuingat saat masa kecilku. Tak banyak peristiwa yang kualami, selain tinggal di rumah besar bersama Mbok Saripah yang suka mencubit tubuhku.
-----*****-----
Aku mulai masuk sekolah taman kanak-kanak. Ibuku rajin mengantar ke sekolah sembari berangkat kerja. Lalu Mbok Saripah menyusul ke sekolah untuk menungguiku di sekolah sampai mengantar pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun