Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Suara Dini Hari

1 Oktober 2020   00:10 Diperbarui: 3 Oktober 2020   01:48 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: Lukisan karya Misbach Tamrin | http://ypkp1965.org

Di dalam kamar ini, kakiku terpasung dengan besi bekas sasis truk. Saudara-saudaraku telah memasungku ketika mendadak dadaku sesak mendengar tanah dan bangunan warisan ayah diwakafkan untuk masjid. Aku tak terima, terus berteriak-teriak memprotes kebijakan ayah yang diam-diam itu.

Padahal aku sudah berjanji kepada janda penjual nasi rames di stasiun kereta api untuk kunikahi dan segera kuboyong ke rumah ini. Apalagi aku anak laki-laki pertama. Pasti jatah warisanku lebih banyak. Aku terlanjur banyak menelan ludah melihat kemolekan janda penjual nasi rames itu. Terlebih lagi sudah dua puluh tahun istriku minggat entah kemana.

Oleh saudara-saudarku kakiku dirantai dan dikunci pada pasung, supaya tidak banyak bergerak ketika mengamuk. Selama dipasung itu pula aku malah lebih gila lagi. Sebab tiap jam 2 dini hari telingaku selalu mendengar suara yang kadang terdengar dari jauh, tapi kadang juga berbisik sangat dekat telingaku. Ia hanya memanggil-manggil namaku sebanyak tiga kali, "Bambang....Bambang....Bambang..."

Lalu suara itu perlahan hilang. Aku tak paham suara siapa dan darimana asalnya. Tiap kali mendengarnya seluruh bulu kudukku merinding. Tubuhku seperti disedot energi oleh kekuatan besar yang tak nampak. Suara itu datang setiap hari dengan sendirinya, tanpa kuminta, dan tanpa kuketahui apa tujuannya. Sampai aku lupa sejak kapan suara itu datang dan sudah berapa kali memanggil namaku.

Kupikir mulanya ada setan di kamarku, beberapa dukun pun telah dipanggil untuk mengusirnya. Mereka semua menyatakan bahwa roh-roh halus, demit gentayangan serta gendruwo sudah dipindah. Tokoh-tokoh agama yang ahli dalam hal mengusir makhluk halus juga pernah melakukan ritual yang sama, katanya jin dan syetan sudah minggat dari kamar.

Walau demikian suara itu terus datang, tak menghiraukan siapapun yang ada di dalam kamar bersamaku. Suara itu terus memanggil namaku, "Bambang.....Bambang......Bambang" lalu lenyap begitu saja. Suara yang membuatku tak bisa tenang. Suara yang sangat menyebalkan. Hingga pada dinihari yang keberapa, aku juga lupa. Kuberanikan diri menantang suara itu.

"Kau ini siapa? jangan panggil-panggil namaku!" Tak ada jawaban. Hanya suara detak jam dinding. Kesunyian membuat tubuhku tersandar di dinding. Esok pagi, seperti hari-hari sebelumnya, suara itu datang kembali. Kuberanikan diri membalas dengan tanya:

"Hei, kau ini siapa? mengapa selalu memanggil namaku?" Tetap tak ada suara, kecuali detak jam dinding berseling dengan suara cicak.

Kusodorkan lagi pertanyaan, tapi tak satupun jawaban kudapati. Hingga pada sebuah dinihari suara itu kembali datang. Kutanyakan kembali jati dirinya:

"Kau ini siapa, mengapa terus memanggilku?" tanyaku dengan tatapan mata di tengah langit-langit kamarku.

"Aku datang dari jauh. Aku hanya ingin membawamu pergi" jawab suara itu menggema.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun