Saatnya pergi ke tukang cukur. Memangkas kenangan yang terus tumbuh. Serta kumis yang tak lagi gerimis.
Seperti biasa, aku abai pada gambar model rambut yang terpasang di kanan kiri cermin. Sebab model itu juga abai dengan wajahku yang tak tampan.
Maka, dipangkaslah rindu yang memutih. Tipis demi tipis, segala tunggu telah usai. Tak perlu cangkok menumbuhkan cerita baru. Apalagi pancaroba segera mengeringkan rerumputan di kepalaku
Sebelum pulang, aku tak lupa memberi ongkos tukang cukur. Serta pamitan satu persatu dengan model gambar rambut. Supaya mereka tak tersinggung.
Sebab kata tukang foto: "Susah-susah ambil gambar, eh malah nggak pernah dipilih"
Kata tukang edit gambar: "Saya hanya pilih beberapa gambar saja, lalu saya edit."
Kata pegawai percetakan: "Saya tak peduli mau cetak berapa lembar, yang penting gajian bisa beli susu pilihan untuk anak saya"
Kata penjual model gambar: "Silahkan dipilih mas, mau kalender, gambar presiden, atau gambar model rambut, buat penglaris"
Kata tukang cukur: "Ini mau dicukur model apa? soalnya banyak yang memilih plontos"
Semoga kau memaklumi apa yang terjadi di kios tukang cukur, yang dengannya kita disuruh melihat diri, memantaskan diri, merapikan diri dengan memotong egoisme dan nafsu di depan cermin. Mereka bekerja jujur dan apa adanya. Kalau jujur mengapa harus berkelit?
Aku tak berkelit, hanya ingin tampan sedikit.
SINGOSARI, 26 Juni 2020