Di kulit pohon yang basah, kutemukan diriku melekat pada ranting-ranting. Tenggorokanku tak lagi kering. Waktu telah mengisi musim dengan seteguk air, sehingga sore itu anak-anak desa tetap bermain bola.Â
Anak-anak tetap gembira, tubuhnya penuh lumpur, dan hujan seperti kyusuk membersihkannya kembali. Kutatap tubuhku yang penuh luka bergetah, apakah mungkin anak-anak itu kelak tak lepas dari dosa-dosa? Seperti pendahulu mereka yang tak pernah pulang kembali ke desa? Ayah ibu mereka tak tahu harus berdo'a apalagi, mengapa anak-anak tak rindu desanya kembali. Seperti kesah yang menganga, perih ditikam hujan.
Sampai menjelang petang, nyanyian katak mengundang anak-anak desa untuk tetap rindu pada desanya. Satu persatu nama anak dipanggilnya, meskipun mereka kini telah menjadi tua di kota, tetaplah ayah ibu mereka menunggu di desa. Kuburan-kuburan yang sepi peziarah juga mulai basah. Nisan penuh lumpur, sehingga tak terbaca lagi siapa nama yang tertera.
Seperti tubuhku yang mulai kuyup, apakah mungkin anak-anak itu kelak selalu mendo'akan leluhur mereka, yang membesarkan pribadi tangguh dengan segenap raga desa.
Desa,
Tidurlah saja, anak-anakmu sudah besar. Tinggalah bersamaku, kenangan yang basah, terluka dan penuh lumpur. Obati saja kesahmu, agar perih segera pulih.
MALANG, 30 NOVEMBER 2019