"Kalau yang disebut-sebut enak sekali itu, kan, biasanya.... ehm... daging babi."
"Astagfirullah! Mana mungkin Bu Nanik tega memberi kita bakso babi?" Hal.39.
Memastikan segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dengan teliti itu sangat baik. Saya sepakat. Kita harus tahu bahan dan cara pengolahan makanan, termasuk juga bagaimana cara kita mendapatkannya. Semua harus jelas kehalalannya.
Namun, dari cerpen ini saya sebagai pembaca dibuat merenung apakah dikarenakan sebuah keraguan yang sebetulnya tak terlalu mendasar (karena sejatinya dilihat cerpen ini tampak Abdullah dan Annisa mengenal baik Bu Nanik dan rasanya ybs gak akan tega ngasih sesuatu yang diharamkan), lalu kemudian berujung pada pikiran buruk/suuzon dan juga berakhir dengan kemubaziran (saat makanan itu terbuang) juga diperkenankan? Apalagi setahu saya Allah membenci prilaku boros/mubazir ini.
Di cerpen yang lain, Feby mengajak saya mengunjungi sebuah negara fiktif bernama Tuantu lewat cerpen "Pengincar Perempuan Tuantu". Diceritakan, di negara ini rakyatnya hidup dengan sangat baik. Kotanya modern, rakyatnya sejahtera dan negara ini memiliki hubungan yang baik dengan Indonesia karena sama-sama negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Namun, ada satu kengerian di negara ini yakni adanya makhluk buas --disebut The Beast, yang sering menyerang manusia. Anehnya, yang diserang hanya wanita saja. Untuk itulah, muncul aturan bahwa semua perempuan di negara Tuantu harus memakai pakaian tertutup. Dari ujung kaki hingga kepala, termasuk bagian wajah.
Peraturan ini diambil untuk membingungkan si The Beast jika mau menyerang. Di sisi lain, "pembatasan yang ketat pada perempuan ini ditentang dari kelompok aktivis dan ilmuwan progresif di Tuantu. Karena sejumlah kasus justru memperlihatkan bahwa penyerangan terhadap perempuan ternyata belum bisa dipastikan polanya." Hal.48.
Sayangnya, kebijakan untuk membatasi ruang gerak perempuan di negara ini cenderung menyulitkan. Nisa, wartawan asal Indonesia yang datang ke sana pun wajib mengikuti aturan yang berlaku.
Empat hari berada di Tuantu, saat menuju bandara hendak pulang, Nisa berbincang dengan Ludba, warga lokal yang menemaninya.
"Ludba, saya benar-benar tidak mengerti satu hal. Secara akal sehat, jika ada binatang buas berkeliaran, mereka yang seharusnya dikerangkeng. Bukan manusia yang jadi terkurung!