Bagi yang suka nonton situasi komedi (sitkom) Bajaj Bajuri, pasti kenal satu sosok bernama Mina yang punya ciri khas minta maaf tiap kali mau ngomong sama orang lain. Sitkom yang tayang perdana tahun 2002 ini dulu sukses besar. Selama 5 tahun penayangan, mereka memproduksi 1291 episode.
Nah, menurut saya, salah satu kunci kesuksesannya, selain memang ini drama komedi, namun, cerita tentang kehidupan Eneng, Bajuri dan Emak ini related di banyak keluarga di Indonesia. Tokoh-tokoh pelengkap seperti Ucup, Said, Hindun dan tentu saja Mpok Minah kian menjadikan serial ini digemari masyarakat dan ditunggu kehadirannya tiap hari.
Jangan Keseringan Mengobral Kata Maaf
"Maaf" itu adalah salah satu dari 3 kata ajaib/magic words yang diketahui banyak orang. Dua kata lainnya yakni "terima kasih" dan "tolong". Namun, menurut saya, terlalu sering minta maaf juga nggak baik.
Pertama, artinya orang yang mengucapkan kata maaf ini nggak belajar dari kesalahan. Hal sederhana saja misalnya, saat ibu saya meminta saya mencuci piring dan gelas. Saat awal-awal ditugasi pekerjaan itu, ada aja piring/gelas yang pecah karena ketidakhatian saya. Tapi, namanya juga baru belajar, ya. Ibu memaklumi. Nah, apa jadinya jika tiap kali saya cuci piring ada aja yang pecah?
Kedua, orang yang selalu meminta maaf jadi cenderung bias juga menurut saya. "Ah elo minta maaf mulu, tapi tetep aja bakalan ngelakuin hal yang sama."
Pernah gak sih ada pikiran kayak gitu ke orang yang selalu minta maaf? Malesin, kan? menurut saya, orang kayak gini ya juga jadinya menganggap enteng kata maaf. Hilang kesakralan kata itu yang seharusnya digunakan untuk menyesali perbuatan/kesalahan. Makanya, benar kata orang, segala sesuatu, jika berlebihan itu nggak baik, termasuk mengobral kata maaf. Cukup Mpok Minah saja yang keseringan minta maaf, ya! Kamu jangan.
Minta Maaf Bukan Perkara Usia
Jujur aja, di keluarga saya sendiri ada pakem tak tertulis bahwa, "yang muda minta maaf sama yang lebih tua." Hmm, well, orangtua saya memang bukan tipe ayah-ibu yang mengerti ilmu parenting yang mumpuni. Ya maklum, pendidikan mereka nggak tinggi-tinggi banget dan mereka dibesarkan masing-masing di keluarga dengan jumlah saudara banyak sehingga bisa jadi perhatian orangtua mereka (kakek nenek saya) dulu ke mereka juga kurang.
Namun, untuk urusan minta maaf ini, mereka --setidaknya dulu, masih berpandangan, "kalian yang muda lah yang harus minta maaf kepada orang tua."
Hal ini, terus terang jadi perhatian khusus bagi saya jika kelak menikah dan memiliki anak. Saya sadar bahwa kesalahan dapat diperbuat oleh siapa saja nggak memandang usia. Jika saya kelak, sebagai seorang bapak melakukan kesalahan ke anak, ya saya harus meminta maaf. Sikap meminta maaf itu nggak akan menjadikan derajat/harga diri saya sebagai seorang bapak runtuh, kok.
Bahkan, saya pahami betul jika saya melakukan kesalahan dan meminta maaf, maka ini jadi contoh yang sangat baik untuk anak saya kelak bahwa wajib hukumnya meminta maaf jika melakukan kesalahan. Saya nggak mau menanamkan sikap cuek terhadap satu kesalahan sehingga anak akan berfikir, "ya udahlah ya, kalau salah ya pura-pura nggak tahu aja."
Ini saya pelajari dari sebuah buku parenting berjudul "Dengan Pujian, Bukan Kemarahan" yang ditulis oleh Nesia Andriana Arif, ibu rumah tangga yang tinggal di Jepang. Di sana diceritakan bahwa sejak kecil anak-anak di Jepang diajari untuk bersikap jujur. Termasuk berani meminta maaf jika melakukan kesalahan.
Perkara permintaan maaf ini memang jadi satu hal yang hebat di Jepang. Saya sih belum pernah ke sana ya, tapi saya sudah dengar banyak sekali cerita tentang sikap orang Jepang yang dipuji oleh seluruh dunia, termasuk kebiasaan mereka mengucapkan "Gomen Nasai" atau "Sumimasen" disertai sikap khusus (membungkuk) untuk menyatakan penyesalan.
Dalam tingkatan yang lebih ekstrim, mereka bahkan tak segan melakukan bunuh diri/harakiri, karena menurut mereka meminta maaf saja masih belum cukup atas kesalahan yang mereka perbuat. Mereka merasa pantas mati untuk menebus kesalahan mereka itu. Serem ya! Tapi, setidaknya kita paham bahwa budaya malu di Jepang sebegitu tinggi.
Saya Tidak Suka Meminta Maaf
Ya, bisa dibilang saya paling nggak suka minta maaf sama orang lain. Tapi, sebagai gantinya, saya juga sangat menjaga hubungan pertemanan dan kekeluargaan dengan cara bersikap sebaik mungkin agar tidak melakukan kesalahan yang dapat menyakiti mereka.
Di keluarga besar, saya termasuk sosok yang netral. Maklum ya, ibu saya 10 saudara dan ayah 9 saudara. Bayangkan betapa banyaknya jumlah sepupu saya, kan? dan, di antara mereka, ada aja yang berselisih paham, cekcok sehingga gak bertegur sapa bertahun-tahun. Nah, saya nggak mau berada di situasi seperti itu.
Makanya, saya sangat menghindari konflik. Saya jaga sikap dan tutur kata, termasuk kegiatan di sosial media macam saling sindir dsb. Makanya, bisa dibilang saya bisa masuk ke semua lingkaran persepupuan. Mau gabung sama kelurga uwak X bisa, atau gaul sama anak-anak om dan tante keluarga Y juga hayok aja.
Lebaran tinggal hitungan hari. Semoga, di hari yang suci itu kita semua dapat bermaafan satu sama lain ya. Mumpung pas momennya, saya minta maaf jika selama berinteraksi di kanal Kompasiana ini ada komentar saya yang kurang berkenan, atau bahkan tulisan-tulisan saya ada yang bikin sebel. Semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari. Amin.Â