Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ketika "Bingkisan" Hari Raya Terindah itu Adalah Marahnya Seorang Ibu

8 Juni 2018   05:24 Diperbarui: 8 Juni 2018   06:04 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto milik hidupsimpel.com yang dimodifikasi

"Itu ibu di ranjang depan sakit diare aja anaknya yang nungguin bisa 2 sd 3 orang. Lha ini ibu selalu ditinggal sendirian," ujar ibu saya sambil menangis.

Aduh, saya jadi semakin menyesal datang terlambat ke rumah sakit. Eh padahal gak terlambat banget sih, hanya saja begitu saya tiba di RS, ternyata bertepatan dengan waktunya petugas kebersihan bekerja.

"Maaf lantainya harus dipel, nanti 30 menit lagi baru boleh masuk," ujar mereka.

Jadilah, saya harus menunggu dulu di depan sebelum kemudian dapat menemui ibu yang sudah beberapa hari terbaring di rumah sakit.

Ramadan 2015 adalah Ramadan yang tidak akan pernah saya lupakan dimana untuk pertama kalinya, saya dan adik-adik tidak dapat merasakan lezatnya masakan ibu bahkan sejak hari pertama berpuasa. Rasanya sungguh tidak enak. Saya yang biasanya kumpul bersama tiap kali sahur dan berbuka, kini harus "puas" makan dengan dua adik "saja".

Ayah pun tidak dapat sahur dan buka puasa di rumah karena harus menunggui ibu di RS. Nah, saat pagi menjelang, mulailah saya dan adik bergantian menjaga ibu di RS. Makanya, pasca subuh, ketika ayah pulang untuk bekerja, kamilah yang bertugas menggantikan.

Eh ya, kok pas giliran saya yang menjaga, saya terlambat yang kemudian membuat ia menangis. Ah...

"Gagal" Jadi Anak Bungsu

"Hanya" 6 tahun saya merasakan peran sebagai anak bungsu sebelum kemudian adik saya lahir. Well, waktu itu sih saya turut berperan atas hadirnya anggota baru di keluarga kami. Saya ingat betul ketika rengekan, "ibu aku mau adik" akhirnya tercapai di awal tahun 1990-an.

Adik saya baru berusia 1 tahun ketika kemudian ibu saya "kebobolan" lagi sehingga lahirlah adik kedua atau anak ke-4 dari ayah-ibu kami. Sejak itu, ibu menjalankan hari-hari yang sibuk karena harus mengurus rumah, usaha dan keluarga nyaris sendirian.

Hubungan saya dengan beliau tidak selalu harmonis jujur saja. Kadang-kadang saya "berantem" juga dan sering kali dimarahi untuk kesalahan-kesalahan yang "tidak penting". Hehehe. Saya bukan anak yang bandel, kok! Eh, langsung pergi main sehabis pulang sekolah, sepedaan sampai sore, mandi di sumur tetangga itu bukan sebuah kebandelan, kan? Hahaha.

Intinya, saya tidak terlalu dekat dengan ibu. Ada di periode-periode tertentu yang saya merasa apa saja yang saya lakukan salah di rumah. Disuruh siram kembang, pasti ada yang salah. Disuruh bantu cuci piring, pasti adaaa aja yang kurangnya.

Ya maklum, ibu saya bukan orang yang berpendidikan tinggi. Beliau juga tidak begitu paham teori-teori parenting zaman now yang banyak saya baca melalui buku atau situs di internet. Namun satu yang pasti : she loves us. Tentu dengan caranya yang dalam benak masa kecil saya adalah satu bentuk kemarahan atau bahkan kebencian, namun ternyata itulah yang ia lakukan untuk mendidik saya dan saudara lain sehingga menjadi pribadi seperti yang sekarang.

Sakit jadi Sensitif

Selama Ramadan itu, ibu keluar masuk RS 3 kali selama Ramadan. Pertama dari sebelum Ramadan, kedua di pertengahan dan ketiga menjelang lebaran. Nggak usah tanya gimana rasanya. Sumpah gak enak banget!

Terlepas dari makan yang "berantakan", sungguh kehadiran ibu di tengah keluarga itu adalah cahaya penyinar yang tak tergantikan. Saya kira di semua keluarga sama, bahwa ibu adalah pusat tata surya-nya kita di rumah. Setuju, kan?

Alhamdulillah ibu sekarang sudah relatif lebih sehat. Di Ramadan 2018 ini, praktis setiap sahur dan berbuka kami selalu lewati bersama. Sejak merasakan betapa tidak enaknya berpuasa tanpa ibu, itulah yang mendorong saya untuk kemudian selalu menghabiskan waktu di rumah. Makanya, saya keukeuh banget menolak semua undangan buka bersama di luar.

Sakit memang dapat mempengaruhi kondisi spikis seseorang. Termasuk ibu saya. Namun, belakangan saya sadar, jika kemudian ibu kembali nampak ngomel, mengeluhkan banyak hal (terutama terkait kebiasaan kami, para anaknya hehehe), saya nikmati saja.

Saya lebih baik melihat ibu saya mengomeli kamar saya yang berantakan, saya yang terlambat bangun pagi atau saya yang suka lelet kalau disuruh-suruh daripada melihatnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dalam hemat saya, saat ibu saya ngomel, energinya banyak, dan ia dalam keadaan sehat hehehe.

Di Ramadan 2015 itu, saya sudah membayangkan akan menghabiskan hari-hari lebaran di kamar rumah sakit. Namun Alhamdulillah, Allah Swt memberikan kesehatan lebih cepat. Ibu saya dapat diizinkan pulang beberapa hari sebelum lebaran.

Walaupun lebarannya tak terasa maksimal (baca : dari segi makanan hahaha), namun, dengan adanya sosok ibu di rumah, itu saja sudah cukup. Saya kira, tidak ada bingkisan hari raya lain yang saya harapkan saat itu selain kehadiran sosok ibu di rumah. Dan, Alhamdulillah, berkat kesembuhan yang diberikan Allah Swt, berkah hari raya itu tak hanya dapat saya nikmati sendiri, namun juga oleh semua anggota keluarga yang lain.

Dan, semoga keadaan ini akan berlangsung hingga ke tahun-tahun yang mendatang, amin. 

Kompal : Kompasianer Palembang
Kompal : Kompasianer Palembang
Simak tulisan saya lainnya di sini, ya! :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun