Mohon tunggu...
Omi Ikhromi
Omi Ikhromi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Serang pelajar di dunia medis "The people have a need to know. Jurnalist have a right to tell"

Selanjutnya

Tutup

Nature

Berharap pada Panda Sebagai Pemecah Kebuntuan Biofuel

16 September 2013   20:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:48 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biofuel atau bahan bakar yang berasal dari makhluk hidup yang digadang-gadang sebagai energi masa depan malah mengalami kebuntuan. Bagaimana tidak, penggunaan biofuel ternyata memakan banyak lahan pertanian.  Apalagi isu ketahanan makanan masih menghantui setiap Negara di dunia. Logika kasarnya kurang lebihnya seperti ini, memikirkan makan saja susah malah lahan untuk makan mau diambil buat bahan bakar.

Biofuel yang sudah bisa diproduksi masal ternyata harus memanfaatkan lahan pertanian yang menghasilkan pangan. Bagaimana tidak, karena bahan-bahan bakunya sendiri merupakan produk pangan pertanian tersebut seperti, jagung, dan gula untuk bioethanol serta kedelai dan minyak sawit untuk biodiesel. Bila lahan pertanian yang menghasilkan produk pangan berkurang untuk memasok biofuel, permintaan produk pangan tersebut yang tinggi akan tak terpenuhi dan akan menyebabkan kelangkaan makanan. Tak hanya itu hal ini berimbas pada harga pangan yang tinggi dan bisa merembet ke kenaikan harga produk pangan lain seperti ayam yang makanannya biasanya berupa jagung seperti yang terjadi di Guatemala.

Perkembangan Biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN) yang digadang-gadang membawa masa depan yang baik malah berakhir petaka di Guatemala. Guatemala awalnya bergantung pada impor jagung murah yang menurunkan produktivitas petani lokal yang kalah bersaing. Setelah itu Guatemala mendapat angin segar dengan berhentinya pasokan impor jagung murah akibat kebijakan standar biofuel 2007 Amerika Serikat yang memanfaatkan jagung. Berhentinya impor jagung murah tak disambut oleh gairah pertanian jagung untuk memenuhi permintaan pasar domestik akan pasokan jagung yang tinggi akibat hilangnya salah satu sumber jagung murah yang dimana Guatemala bergantung pada pasokan ini sampai bahkan setengah pasokan dalam negeri. Para Petani dan pengusaha di Guatemala lebih memilih mengalihkan pertanian mereka ke bahan pangan yang dapat dirubah menjadi BBN daripada petanian pangan. Pertanian seperti jagung dan gula lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan luar negeri akan bahan BBN. Impor jagung yang semakin mahal karena Amerika serikat sendiri mengeluarkan kebijakan penggunaan 40% jagung mereka untuk pembuatan BBN.  Pantaleon Sugar Holdings yang awalnya mengekspor gula hanya berupa produk makanan, sekarnag sebanyak 13% produksinya digunakan sebagai bahan baku BBN. Harga gula pun menjadi dua kali lipat. Tanah Mr. Alvarado, slaah satu penduduk Guatemala yang biasanya disewakan untuk pertanian jagung sekarang disewakan untuk kebun tebu gula utnuk bahan baku BBN yang mengekspor BBN ke Eropa.

Wajah pertanian mereka sekarang mulai banyak dihiasi oleh pertanian kelapa sawit afrika. Padahal dua dekade lalu kelapa sawit di Guatemala tidak ada. Pada kelapa sawit malah menjadi komiditi ekspor terbanyak ketiga setelah gula dan pisang. Di kota kecil seperti San Basilo, munculnya sebuah perusahaan kelapa sawit telah menekan  para petani untuk menyewa bahkan menjual tanah mereka. Kehadiran pertanian kelapa sawit ini menghabiskan banyak air untuk irigasi yang membuat petani-petani lain kesusahan untuk bercocok tanam. Selain itu pembakaran ladang tebu setelah panen merusak tanaman jagung dan mengiritasi paru-paru anak-anak mereka seperti yang tejadi pada nasib Gilberto Galindo Morales, salah satu petani di San Basilo. Perusahaan tersebut berusaha menyewa tanah pertanian jagung pak Gibeltro yang seluas 5 hektar. Kadang tekanan terhadap buruh dan tanah dapat berupa penjagaan penjaga bersenjata. Menurut Ms. Siekavizza dari kelompok perdagangan mengatakan alasan para petani menyewa bahkan menjual tanah mereka karena muncul kepercayaan bahwa pertanian kelapa sawit mencuri makanan mereka hanya sebuah mitos daripada kenyataan bahwa tanah di Guatemala tidak cocok untuk pertanian jagung.

Memang invasi perkebunan kelapa sawit membawa beberapa peluang pekerjaan bagus dan pelatihan. Namun, banyak juga yang mengeluhkan kecilnya upah dan perlakuan pelecehan seperti yang terjadi di desa-desa terpencil Maya, bagian utara Negara tersebut. Yang paling penting pengalihan fokus pertanian ke arah produksi BBN mebuat harga-harga pangan menggila. Dan yang paling penting lebih meyengsarakan rakyat, apalagi yang sebelumnya sudah miskin. Kebanyakan keluarga di Guatemala harus menyisihkan 2/3 dari pendpaaan mereka untuk kebutuhan pangan.  Katja Winkler, peneliti dari Idear, Organisasi non profit Guatemala yang mengkaji isu-isu pedesaan barkata bahwa rata-rata orang Guatemala kelaparan akibat perkembangan BBN. Dalam data yang dirilis PBB, sekitar 50% anak-anak di Guatemala mengalami kekurangan gizi, dimana menempati peringkat keempat di dunia

Biofuel sendiri pada awalnya  terlihat menjanjikan masa depan yang baik bagi dunia. Biofuel atau Bahan bakar nabati (BBN)memiliki beberapa keunggulan baik di sektor ekonomi maupun sector lingkungan. Dalam laporan yang ditulis oleh Steven E. Sexton and David Zilberman yang berjudul Report to the Renewable Fuels Agency” pada 19 Mei 2008 dariDepartemen Pertanian dan Sumber daya ekonomi Universitas California, Berkeley disebutkan setidaknya ada tiga hal yang menjadi alasan penggunaan BBN. Ketiga-tiganya adalah ketahanan energi, perkembangan perdesaan dan pengurangan gas rumah kaca. Pengembanga pedesaan dimana penduduknya merupakan petani dapat menikmati harga komditas yang tinggi akibat permintaan yang lebih banyak dari industri BBN.

Untuk ketahanan energy sendiri karena produksi BBN yang bisa dilakukan di setiap Negara, masing-masing Negara mencoba untuk menjadi mandiri dan tidak tergantung akan pasokan impor minyak dari Negara pengekspor. Di Amerika pada tahun 2006 produksi BBN berhasil menurunkan harga bensin sebanyak 3% dan menghemat konsumsi dunia sebanyak 45 juta milyar $. Dalam laman Kompas.com, Indonesia sendiri pada kebijakan September 2013 ini menargetkan penghematan impor BBM (Bahan Bakar Minyak) solar sebesar 1,3 juta kl hingga akhri tahun ini dan 4,4 juta kl pada tahun 2014 atau 5,6 juta kl yang akan mengehemat APBN sebesar 4,096 $. Sementara dalih penggunaan BBN yang klasik yaitu berupa pengurangan efek rumah kaca. BBN sendiri dapat menghasilkan lebih sedikit emisi dibandingkan BBM. Sementara itu dengan penanaman tanaman penghasil BBN diharapakn emisi yang dikeluarkan dapat diolah kembali menjadi BBN karena tanaman sendiri menyerap dan menggunakan CO2 yang merupakan emisi pembakaran BBN.

Tetapi prediksi manis tersebut tak semanis yang diutarakan. Seperti harapan pengembangan pedesaan malah memperparah keadaan mereka seperti yang terjadi di Guatemala, khususnya diakibatkan kenaikan harga pangan dan kelangkaannya yang malah berdampak lebih luas ke seluruh rakyat tak hanya para petani dan masyarakat pedesaan di negeri tersebut. Sementara untuk memenuhi ketahanan energy nasional dibutuhkan banyak sekali lahan. Dalam sebuah penelitian untuk mengganti 10% kebutuhan akan BBM di Amerika Serikat, Kanada dan Uni Eropa diperlukan 30 sampai 70 persen lahan pertanian mereka. Sementara dalam sebuah artikel di The Guardian, dalam data yang dirilis tahun 2006 diperlukan 600% atau lebih lahan pertanian jagung untuk mengganti seluruh kebutuhan akan BBM di Amerika Serikat. Apalagi setiap tahunnya kebutuhan akan BBM terus meningkat berarti diperlukan lebih banyak lahan. Penanaman pertanian untuk BBN memang dapat mengurangi emis karena BBN lebih efisien dan menghasilkan lebih sedikit emisi. Namun EEA, (Europe Environmental Agency) memperingatkan dampak lainnya berupa penghilangan hutan yang dimana hutan malah menyerap banyak emisi gas. Dalam sebuah artikel the telegraph malah emisi CO2 yang tidak langsung dari BBN dapat menjadi 4 kali lipat dibandingkan BBM, yang salah satunya diakibatkan kehilangan hutan. Menghilangnya hutan dan banyak lahan membuat berkurangnya biodiversitas akibat ekspansi lahan terhadap alam liar. Selain itu kebutuhan lahan yang tinggi membuat kelangkaan air yang dipakai untuk pemenuhan pertanian BBN yang luas sekali. Secara tidak langsung harga bahan bakar yang lebih murah malah menstimulasi pertumbuhan kendaraan bermotor yang malah meningkatkan emisi serta menambah kerumitan masalah di jalan, seperti kemacetan dan kecelakaan.

Salah satu solusinya adalah pengembangan ke arah BBN yang berbasis non-pangan yang berupa BBN selulosa. BBN ini dapat berupa BBN yang bersumber dari sampah khususnya sampah organik yang mengandung selulosa yang dapat ditemui di berbagai tempat dan tak membutuhkan banyak lahan, hanya membutuhkan sisa dari panen. BBN ini bila berhasil dimanfaatkan dapat mengubah seluruh energy yang terkandung dalam sebuah tanaman, khususnya dari selulosa yang merupakan penususn utama tanaman sehingga lebih efektif memanfaatkan energy tanaman dan menggurangi kebutuhan akan lahan. Sehingga kita hanya membutuhkan residu tanaman yang banyak tak terpakai seperti jerami, bekas hasil panen tebu dan sisa pemotongan kayu.

Saat ini para peneliti menuju pada pemanfaatan selulosa tersebut. Kendala BBN selulosa sendiri adalah masalah pengkonversian selulosa yang merupakan bahan penyusun utama dinding sel tanaman menjadi gula. Saat ini untuk megubah selulosa menjadi gula diperlukan tekanan atau panas yang tinggi, atau dengan mencampurkan dengan asam. Cara-cara ini tidak ekonomis sama sekali.

Penggunaan bakteri atau enzim mungkin dapat membantu proses ini. Namun proses ini memakan waktu yang lama. Mamalia herbivora pada umumnya seperti sapi merupakan hewan ruminensia atau hewan memamah biak. Hewan-hewan ini harus mengunyah dua kali makanan mereka setelah difermentasi. Pencernaan mereka pun panjang sekali. Perut mereka saja ada empat, yaitu rumen sebagai tempat fermentasi, reticulum, omasum dan abomasum yang mirip dengan lambung mamalia lainnya. Sebuah proses yang sangat lama dan kurang efektif dalam pemenuhan kebutuhan bahan bakar yang tinggi.

Hal ini berbeda dengan panda yang memiliki fisiologi yang berbeda dengan hewan ruminensia. Panda sendiri secara fisiologi berupa karnivora namun pada kenyataannya mereka merupakan hewan herbivore yang memakan bambu. Sebagai herbivore, panda dewasa sendiri dapat makan  20-40 pon bamboo dalam sehari dan menghabiskan 12 jam untuk mengunyah setiap harinya. Karena berfisiologi sebagai karnivora saluran pencernaan yang pendek dan ahanya memiliki satu perut tidak seperti hewan ruminensia yang mempunyai 4 perut. Konsekuensi dari jalur yang lebih pendek adalah proses fermentasi yang lebih cepat. Dengan ini bakteri dan enzim dalam pencernaan panda bekerja lebih cepat dan efektif dalam mencerna selulosa.

Ashli Brown seorang ahli biokimia dari Universitas Missisipi menyampaikan dalam ACS (American Chemical Society) seperti yang dirilis oleh Nationalgeographic.com pada 10 September 2013, bahwa ada potensi yang belum dipelajari dari panda, sebagai spesies yang terancam punah. Bersama Candace Williams , sebagai rekan peneliti mereka telah mengumpulakan 40 sampel feses panda dari Ya Ya dan Le Le, panda dari kebun binatang Memphis, Tennessee. Mereka menemukan perubahan pola makan dari batang bamboo yang keras ke daun bamboo yabng lebih halus menunjukkan perubahan jumlah mikroba dalam perubahan pola makan tersebut. Disamping menghasilkan gula, mereka menemukan mikroba dalam lab yang dapat mengakumulasi lemak yang dapat mnghasilkan asam lemak yagn dubuthkan dalam pembuatan BBN.

Penelitian lanjutan diharapkan dapat menguak lebih dalam pencernaan hewan yang terancam punah ini. Entah bakteri atau enzim dalam sistem pencernaan panda diharapkan dapat dikembangkan dalam industri BBN, apalagi zaman sekarang dimudahkan dengan teknologi rekayasa genetik. Harapan yang paling utama dari penelitian panda ini, selain sebagai kampanye pelstarian panda, tetapi sebagai pemecah kebuntuan program BBN dan pengurangan emisi yang mengalami kebuntuan dan menuai banyak kontroversi untuk kehidupan dan lingkungan yang lebih baik bagi bumi.

Sumber  :

1.Ville, Claudi A. dkk. 1988. Zoologi Umum. Jakarta : Penerbit Erlangga

1.Sexton, Steven E. dan David Zilberman. 2008. Biofuel Impacts on Climate Change, The environment and Food Report to the Renewable Fuels Agency. Department of Agricultural and Resource Economics university of California, Berkeley

2.http://www.theguardian.com/environment/2013/jul/03/biofuel-crop-mix-environment (diakses 15 September 2013)

3.http://www.theguardian.com/environment/climate-consensus-97-per-cent/2013/sep/11/global-warming-ethanol-will-o-wisp (diakses 15 September 2013)

4.http://news.nationalgeographic.com/news/energy/2013/09/130910-panda-poop-might-help-turn-plants-into-fuel/ (diakses 15 September 2013)

5.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2013/09/03/2025367/Biodiesel.Diwajibkan.Impor.Solar.akan.Turun.1.3.Juta.KL (diakses 15 September 2013)

6.http://www.nytimes.com/2013/01/06/science/earth/in-fields-and-markets-guatemalans-feel-squeeze-of-biofuel-demand.html?pagewanted=all (diakses 15 September 2013)

7.http://www.telegraph.co.uk/earth/environment/climatechange/7614934/Biofuels-cause-four-times-more-carbon-emissions.html (diakses 15 September 2013)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun