Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tentang Iklan di TVRI

2 September 2013   06:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:30 3288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam acara peletakkan batu pertama studio RCTI di Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada Juni 1988, Direktur Utama TVRI Ishadi SK mengatakan, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) bukan saingan TVRI. Kedua stasiun televisi ini, tambah pria yang kini menjabat sebagai salah seorang Komisaris di Trans Corp ini, adalah ‘saudara’.

RCTI bukan saingan TVRI, melainkan partner yang akan memperkaya program-program TVRI, sehingga memenuhi harapan khalayak yang terus meningkat,” ujar Ishadi kala itu, yang penulis kutip dari Kompas, 24 Juni 1988.

Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Menteri Penerangan zaman Orde Baru (Orba) Harmoko. Ia melihat, RCTI tidak otonom, tetapi diberi izin melakukan kegiatan oleh Yayasan TVRI, badan usaha dari TVRI itu sendiri.

Kehadiran televisi swasta di Indonesia tidak menimbulkan persaingan bagi TVRI, ataupun, di pihak lain, TVRI bukan pesaing bagi televisi swasta,” ujar Harmoko (Suara Karya, 16 Juli 1990).

‘Manisnya’ pernyataan Harmoko maupun Ishadi SK saat itu sesungguhnya ada maksud terselubung. Pertama, jelas untuk menyenangkan hati anak Presiden Soeharto, yakni Bambang Triatmodjo selaku pemilik RCTI. Kedua, televisi swasta nasional pertama ini, akan ‘dipalak’ oleh TVRI. RCTI boleh bersiaran, tetapi harus memberikan (baca: wajib) sebagian pendapatannya pada TVRI, secara TVRI dilarang beriklan. Tak heran, setelah RCTI, televisi swasta nasional lain, ditempatkan di bawah payung Yayasan TVRI.

Sebelum 1981, TVRI mendanai operasionalnya dengan memunggut iklan. Barangkali di antara Anda masih ada yang ingat acara Mana Suka Siaran Niaga. Namun, terjadi sejumlah penolakan terhadap TVRI yang beriklan. Pada April 1981, TVRI pun akhirnya dilarang beriklan. TVRI juga sempat memunggut dana dari rumah ke rumah. Ketika muncul RCTI dan beberapa televisi swasta, TVRI berhasil mendapatkan dana tanpa harus ‘kerja keras’. Kompas, 8 Mei 1991 melaporkan, televisi swasta berhasil meraup 60% belanja iklan dan menyumbang sebesar 32% kenaikan belanja iklan dari 1990 sampai 1991. Dari 60% iklan yang diterima televisi swasta, 2,5 % disetorkan ke TVRI.

Sebelum status diresmikan secara sah oleh pemerintah menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP), TVRI sudah ‘mencuri-curi’ sebagian waktunya diisi oleh spot iklan. Maklumlah, TVRI galau soal status. Selain status, kondisi dana operasional yang sebelumnya berasal dari iuran rakyat dan beberapa stasiun televisi macet. Dalam laporan Badan Pemerikasa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) tahun anggaran 2003-2004, saldo piutang TVRI di Lembaga Penyiaran Komersial (baca: stasiun televisi swasta) senilai Rp 204.265.604.433. Mayoritas piutang ada di 3 stasiun televisi Televisi Pendidikan Indonesia (TPI, kini berubah menjadi MNC TV), ANTV, dan Indosiar. Selain punya piutang dari beberapa stasiun televisi swasta, dalam perhitungan AGB Nielsen Media Research Indonesia, jumlah pendapatan komersial TVRI periode Januari-Desember 2004 senilai Rp 294.296.000.000. Fantastis bukan?!

Tepat pada ulang tahunnya ke-44, TVRI resmi menjadi LPP. Dengan status sebagai LPP yang disahkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002, TVRI pun bebas beriklan. Selain mendapatkan dana dari spot iklan, TVRI juga masih mendapatkan sebagian biaya operasional dari negara (baca: Angaran Pendapatan dan Belanja Negara/ APBN dan Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah/ APBD). Selain dua sumber dana tersebut, sebagai LPP, TVRI sah mendapatkan dana dari usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Pada 2010, TVRI meraup Rp 550 miliar dari APBN dan Rp 206 miliar dari non-APBN.

TVRI memang ‘unik’. Ia tak bisa seperti televisi BBC Inggris yang 100% sumber dana berasal dari masyarakat melalui licence fee. Lalu televisi NHK Jepang yang berhasil menerima iuran dari masyarakat mencapai Rp 60 trilyun dalam 1 tahun. ABC Australia beda lagi. Stasiun televisi ini 100% mendapat dana dari APBN. Ketiga stasiun televisi milik pemerintah tersebut sama sekali tidak menayangkan iklan komersial.

13780101781595741950
13780101781595741950

Kini, layar TVRI memang ‘tak beda’ dengan Lembaga Penyiaran Komersial (LPK). Guna menghidupi kebutuhan finansialnya, TVRI menayangkan iklan, sebagaimana RCTI, SCTV, ANTV, dan stasiun televisi swasta lain. Terlebih lagi, di era digitalisasi nanti, Ketua KPI Pusat periode 2010-2013 Mochamad Riyanto Rasyid mengatakan di Seminar IBX 2013 di Jakarta, semangat bottom line di industri televisi, suka tak suka TVRI harus berlomba-lomba membuat aneka program siaran, demi tujuan meraup iklan.

Di ulang tahun ke-51 pada 2013 ini, TVRI membuat aneka program spesial untuk menarik penonton, mulai dari acara dangdut, reagee, sampai acara puncak Semangat Indonesia yang ditayangkan pada Kamis, 30 Agustus 2013 lalu. Artis-artis nasional –artis dangdut maupun non dangdut- papan atas diundang. Tentu saja, memproduksi acara-acara seperti itu butuh dana besar. Tak heran, iklan-iklan pun berseliweran di TVRI saat commercial break. Mengingat TVRI sudah bebas merdeka, tentu yang kini harus dijaga adalah soal pemilihan iklan. Sebagai LPP, jangan sampai TVRI asal ambil iklan.

Menurut Effendi Gazali di buku Penyiaran Alternatif tapi Mutlak (Penerbit Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2002), tidak mudah membatasi iklan di TVRI. Meski sebagai LPP TVRI dilarang menerima iklan hard selling, tetap pada kenyataannya hal tersebut tetap terjadi di layar. Yang penting, kata Effendi, TVRI tidak boleh mencari keuntungan. Hard selling atau tidak, bukanlah sesuatu yang langsung membuat sebuah Penyiaran Publik berubah dari lembaga non-profit menjadi profit oriented.

TVRI tetap harus menjaga statusnya, dimana tidak tergoda untuk dikendalikan oleh mekanisme rating dan iklan, sebagaimana lazimnya Lembaga Penyiaran Komersial,” tulis Effendi Gazali. “Sehingga, TVRI tetap dapat menjalankan visi dan misinya dengan baik”.

Pengelola TVRI juga harus konsisten untuk membatasi jumlah iklan. Jika LPK diberikan batas maksimal iklan sebesar 20 persen dari jumlah durasi programnya, LPP maksimal 15 persen. Semoga TVRI tak melanggar batas maksimal, sebagaimana mayoritas televisi swasta lakukan saat ini.

Salam Kompetisi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun