Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Seputar Ajang Pencarian Bakat Da’i di Televisi

18 Juli 2013   08:24 Diperbarui: 4 April 2017   16:15 5937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Siapkah Hafidz Indonesia yang akan pulang ke rumah orangtuanya?

Keenam Hafidz berdiri tegang. Di belakang para Hafidz pun tak kalah dag-dig-dug. Backsound musik menjadikan ucapakan host Irfan Hakim di atas tadi, seperti detik-detik menunggu sebuah eksekusi. Wajah-wajah tegang yang menanti jawaban, tergambar jelas di layar. Baik Produser maupun Program Director (PD) membiarkan suasana di studio maupun penonton di rumah penasaran.

Begitulah sedikit gambaran program Hafidz Indonesia (HI) yang ditayangkan RCTI. HI adalah program pencarian bakat para da’i cilik. Selain di RCTI, program ini juga sempat diputar ulang (rerun) di saluran MNC Muslim di Indovision pada waktu Subuh. Bertepatan dengan program HI, di Indosiar juga tayang program pencarian bakat, yakni Akademi Sahur Indonesia (AKSI). Kalo HI mencari da’i cilik, sebaliknya AKSI merupakan ajang pencarian da’i muda.

Sebenarnya, program berkonsep pencarian da’i, baik da’i cilik maupun da’i muda, bukan baru kali ini saja. Stasiun televisi swasta yang sudah almarhum Lativi, termasuk pelopor ajang pemilihan da’i di televisi. Dengan nama Pemilihan Da’i Cilik (Pildacil), stasiun televisi milik Abdul Latief ini mengudarakan program ini pada paruh 2005. Padahal, jauh sebelum tayang di Lativi, konsep ini kabarnya pernah ingin ditayangkan di TV9 dan RTM Malaysia.

Keberhasilan Pildacil kabarnya meniru Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Saat itu, stasiun televisi swasta milik Siti Hadiyati Rukmana ini sempat membuat program berjudul Dakwah TPI (DAI). Ketika Pildacil tayang 15:30-17:30 WIB (sebelum magrib), DAI di jam berbeda. Bedanya, peserta DAI adalah pemilihan da’i dewasa. Namun, Pildacil tetap lebih unggul. Boleh jadi, pengaruh kepolosan anak-anak yang menjadi peserta Pildacil membuat penonton lebih tertarik.

Kala itu, Pildacilyang ditayangkan secara langsung dari studio Lativi di Pasaraya, Blok M, Jakarta ini menarik . Betapa tidak, di antara ajang pemilihan ratu-ratuan, penyanyi, atau band, tiba-tiba Lativi membuat program pemilihan da’i. Program ini mendapat rating dan share luar biasa dan menjadi program andalan Lativi tiap Ramadhan. Dari segi revenue, Pildacil juga sangat menguntungkan. Betapa tidak, banyak produk yang berebut mensponsori. 2011 Pildacil dianggap sukses. Lativi pun terus memproduksi selama 3 periode.

Hebatnya, keberhasilan Pildacil bukan cuma dari segi rating dan revenue. Pada 2012, seorang mahasiswa bernama Wahyu Rishandi melakukan penelitian tentang pengaruh Pildacilterhadap pendidikan agama anak di lingkungan keluarga Desa Laru Kecamatan Tambangan Kabupaten Madina. Berdasarkan hasil penelitiannya,program Pildacil ternyata sangat berpengaruh terhadap pendidikan agama anak dalam keluarga di Desa laru Kecamatan Tambangan KabupatenMadina.pengaruh ini terlihat dari upaya para orangtua dalam menyekolahkan dan mendidik anak mereka di bidang agama melalui sekolah formal baik di Pesantren maupun sekolah agama lainnya.

Sebelumnya sudah cukup banyak kejuaraan yang aku raih, tapi Pildacil ini berbeda,” ungkap Rona Mentari, juara III Pildacil 2 (2006). “Selain bisa dikenal orang, disinilah aku tahu kompetisi, kerjasama, ilmu agama yang lebih dalam dan masih banyak lagi. Tapi yang paling penting, dari Pildacil ini aku jadi memantapkan langkhku untuk meraih cita-citaku sekarang ini, yakni menjadi entertainer muslim dan enterpreneurship.”

Di penghujung Lativi “hidup” –sebelum stasiun televisi swasta ini dibeli oleh Grup Bakrie dan berubah nama menjadi tvOne, Pildacil masih ditayangkan untuk ketiga kali. Begitu benar-benar di take over kepemilikannya, Pildacil tidak “dibuang” begitu saja, secara pada Pildacil sesi ke-3 masih banyak produk yang tertarik mensponsori acara ini. Terlebih lagi, pada 2006, Pildacil mendapat penghargaan MUI Award untuk kategori “Siaran Anak dan Remaja Terbaik”. Tak heran, program ini tetap ditayangkan, tetapi tayangnya bukan di tvOne yang notabene bekas Lativi, melainkan tayang di ANTV. Maklumlah, setelah berubah konsep tayangan, program-program yang tidak masuk kategori news, dipindah ke ANTV. Toh, ANTV juga masih punya Grup Bakrie. Pildacil ke-4pun langsung membuka audisi di 11 kota besar di tanah air.

Dalam Ramadhan 1434 H kali ini, RCTI mencoba mengangkat kembali “tradisi” pemilihan da’i cilik lewat program HI. Seperti juga Pildacil, program HI tentu sangat positif. Di tengah minimnya tayangan anak-anak bermutu, kehadiran HI cukup menggembirakan. Ada alternatif tontonan yang orangtua berikan pada anak-anak. Selain itu, sebagai orang dewasa, kita bisa berkaca pada kemampuan da’i-da’i cilik dalam menghapal surat-surat pendek. Mereka seperti menampar wajah kita (baca: memotivasi). Masih kecil saja sudah hafidz al-Qur’an, masa kita yang sudah “senior” hafalannya masih itu-itu saja?

Yang patut diapresiasi dari HI, motif program ini tidak didominasi oleh “motif ekonomi”. Seperti Anda ketahui, pada saat Pildacil, SMS menjadi pententu kemenangan pula. Pengakuan Eddy Abdullah, ayahanda Ilham Binar Lazuardi (finalis Pildacil dari Semarang 2004) yang penulis kutip dari blog Donny Riada berjudul Dilematik Kontes Da’i Cilik, nilai dari juri hanya 30%, sementara SMS-nya 70%.

Akibat menggunakan sistem SMS, kemenangan atau keunggulan seorang da’i seakan dianggap tidak objektif. Berbeda dengan program Dakwah TPI, dimana penilaian asatidz (para Ustadz) adalah 80% sebagai penentu kemenangan, bukan pooling SMS. Tak beda dengan Pildacil , AKSI juga menggunakan sistem SMS. Penonton yang ingin membantu kemenangan peserta AKSI bisa menggunakan jalur SMS, dimana tarifnya Rp 2.200 per sekali SMS. Harga segitu, masih sama ketika Niha berhasil menjadi juara di Pildacil 3 pada 2006.

Kalo di DMP, SMS nggak ngaruh buat memilih pemenang,” ujar Ambia Dahlan, peserta Dai Muda Pilihan (DMP) yang sempat tayang di ANTV. ”SMS cuma buat juara favorit mingguan. Yang mempengaruhi kemenangan peserta adalah penilian dewan juri, tim tabligh, dan tim majelis ilmu. Saya aja SMS di tinggi terus, tetapi tetap aja keluar duluan”.

Kala Niha yang asal Purwakarta menang, pada Mei 2006 seorang blogger menulis sebuah ironi di daerah tempat Nisa, tepatnya di Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Di tempat ini terdapat SD Negeri Sukamanah III, dimana sejumlah muridnya terpaksa belajar sambil “ngapang” atau tiarap beralaskan tikar. Selain itu, langit-langit sekolah, nyaris menimpa sang guru yang sedang memberikan pelajaran. Blogger ini mengkritisi masyarakat Purwakarta agar tak sekadar menyumbang SMS ke Nisa, tetapi juga menyumbang ke tempat-tempat yang membutuhkan, seperti SD Negeri Sukamanah III itu.

Blogger ini sempat menghitung total sumbangan SMS ke Nisa yang bisa mencapai Rp 44 juta per sekali tampil. Jumlah ini terjadi pada saat Grand Final, dengan perincian Rp 22.000 x 2.000 pengirim SMS = Rp 44 juta. Sementara kala itu Nisa selalu mengumpulkan SMS d atas 10.000. Jadi, kalo dihitung dengan angka 10.000 SMS, maka pendapatan dari SMS senilai Rp 364 juta.

Sudah berapa banyak kita sumbangkan harta kita untuk popularitas?” begitu tulis sang blogger.

Nah, pelajaran yang diambil dari ajang pemilihan da’i di Pildacil tentu menjadi bahan berharga buat AKSI yang menggunakan sistem SMS. Terlebih lagi di luar masalah SMS, beberapa Ustadz mengatakan, penilaian juri terhadap peserta AKSI tidak memilih berdasarkan tajwid al-Qur’an yang benar, akhlak, serta keilmuan dari para peserta. Tetapi sekadar memilih berdasarkan kemampuan bertausyiah.

Di DMP, kami digojlok selama sebulan. Diubah mainset-nya oleh guru kami Ustadz Bachtiar Nasir. Kami benar-benar dijadikan da’i yang berakhlak mulia dengan tidak memasang tarif,” ujar Ambia lagi. “Di DMP peserta nggak ngejar popularitas, tetapi benar-benar dengan niat berdakwah”.

Namun begitu, Ustadz Ambia mengakui, ada kelebihan AKSI. Di program ini, peserta punya banyak waktu bertausyiah, yakni lebih dari 6 menit. Dengan begitu, mereka bisa dengan mudah mengeksplorasi materi. Sementara saat di DMP –program yang cuma sekali tayang dan sudah almarhum-, peserta cuma dapat jatah waktu 3 menit. Semoga saja, kemampuan bertausyiah di AKSI tetap dibarengi dengan kemampuan lain dari para peserta, yakni ilmu dan tajwid al-Qur’an. Jelas, ini menjadi PR bagi juri di AKSI.

Salam Ramadhan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun